Archive for February 2, 2011


TERAPI INTRAVENA

  1. Definisi

Terapi intravena adalah tindakan yang dilakukan dengan cara memasukkan cairan, elektrolit, obat intravena dan nutrisi parenteral ke dalam tubuh melalui intravena. Tindakan ini sering merupakan tindakan life saving seperti pada kehilangan cairan yang banyak, dehidrasi dan syok, karena itu keberhasilan terapi dan cara pemberian yang aman diperlukan  pengetahuan dasar tentang keseimbangan cairan dan elektrolit serta asam basa. Tindakan ini merupakan metode efektif dan efisien dalam memberikan suplai cairan ke dalam kompartemen intravaskuler. Terapi intravena dilakukan berdasarkan order dokter dan perawat bertanggung jawab dalam pemeliharaan terapi yang dilakukan. Pemilihan pemasangan terapi intravena didasarkan  pada beberapa faktor, yaitu tujuan dan lamanya terapi, diagnosa pasien, usia, riwayat kesehatan dan kondisi vena pasien. Apabila pemberian terapi intravena dibutuhkan dan diprogramkan oleh dokter, maka perawat harus mengidentifikasi larutan yang benar, peralatan dan prosedur yang dibutuhkan  serta mengatur dan mempertahankan sistem.

  1. Tipe-tipe cairan

Cairan/larutan yang digunakan dalam terapi intravena berdasarkan osmolalitasnya dibagi menjadi:

  • Isotonik

Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas sama atau mendekati osmolalitas plasma. Cairan isotonik digunakan untuk mengganti volume ekstrasel, misalnya kelebihan cairan setelah muntah yang berlangsung lama. Cairan ini akan meningkatkan volume ekstraseluler. Satu liter cairan isotonik akan menambah CES  1 liter. Tiga liter cairan isotonik diperlukan untuk mengganti 1 liter darah yang hilang.

Contoh:

NaCl 0,9 %

Ringer Laktat

Komponen-komponen darah (Alabumin 5 %, plasma)

Dextrose 5 % dalam air (D5W)

 

  • Hipotonik

Suatu cairan/larutan yang memiliki osmolalitas lebih kecil daripada osmolalitas plasma. Tujuan cairan hipotonik adalah untuk menggantikan cairan seluler, dan

menyediakan air bebas untuk ekskresi sampah tubuh.  Pemberian cairan ini umumnya menyebabkan dilusi konsentrasi larutan plasma dan mendorong air masuk ke dalam sel untuk memperbaiki keseimbangan di intrasel dan ekstrasel, sel tersebut akan membesar atau membengkak. Perpindahan cairan terjadi dari kompartemen intravaskuler ke dalam sel. Cairan ini dikontraindikasikan untuk pasien dengan risiko peningkatan TIK. Pemberian cairan hipotonik yang berlebihan akan mengakibatkan:

1.      Deplesi cairan intravaskuler

2.      Penurunan tekanan darah

3.      Edema seluler

4.      Kerusakan sel

Karena larutan ini dapat menyebabkan komplikasi serius, klien harus dipantau dengan teliti.

Contoh: dextrose 2,5 % dalam NaCl 0,45 %

NaCl  0,45 %

NaCl 0,2 %

  • Hipertonik

Suatu cairan/larutan yang  memiliki osmolalitas lebih tinggi daripada osmolaritas plasma. Pemberian larutan hipertonik yang cepat dapat menyebabkan kelebihan dalam sirkulasi dan dehidrasi. Perpindahan cairan dari sel ke intravaskuler, sehingga menyebabkan sel-selnya mengkerut. Cairan ini dikontraindikasikan untuk pasien dengan penyakit ginjal dan jantung serta pasien dengan dehidrasi.

Contoh: D 5% dalam saline 0,9 %

D 5 % dalam RL

Dextrose 10 % dalam air

Dextrose 20 % dalam air

Albumin 25

Pembagian cairan/larutan berdasarkan tujuan penggunaannya:

  • Nutrient solution

Berisi karbohidrat ( dekstrose, glukosa, levulosa) dan air. Air untuk menyuplai kebutuhan air, sedangkan karbohidrat untuk kebutuhan kalori dan energi. Larutan ini diindikasikan untuk pencegahan dehidrasi dan ketosis.

Contoh: D5W

Dekstrose 5 % dalam 0,45 % sodium chloride

  • Electrolyte solution

Berisi elekrolit, kation dan anion. Larutan ini sering digunakan untuk larutan hidrasi, mencegah dehidrasi dan koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

Contoh: Normal Saline (NS)

Larutan ringer (sodium, Cl, potassium dan kalsium)

Ringer Laktat /RL (sodium, Cl, Potassium, Kalsium dan laktat)

  • Alkalizing solution

Untuk menetralkan asidosis metabolik

Contoh : Ringer Laktat /RL

  • Acidifying solution

Untuk menetralkan alkalosis metabolik

Contoh : Dekstrose 5 % dalam NaCl 0,45 %

NaCl 0,9 %

  • Blood volume expanders

Digunakan untuk meningkatkan volume darah karena kehilangan darah/plasma dalam jumlah besar. (misal: hemoragi, luka baker berat)

Contoh : Dekstran

Plasma

Human Serum Albumin

Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:

§   Kristaloid

Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera.

Contoh: Ringer-Laktat dan garam fisiologis.

§   Koloid

Ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah.

Contoh: albumin dan steroid.

Contoh cairan infus:

  1. Tujuan

Tujuan terapi intravena adalah:

1.      Mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit, vitamin, protein, lemak dan kalori yang tidak dapat dipertahankan melalui oral.

2.      Mengoreksi dan mencegah  gangguan cairan dan elektrolit

3.      Memperbaiki keseimbangan asam basa

4.      Memberikan tranfusi darah

5.      Menyediakan medium untuk pemberian obat intravena

6.      Membantu pemberian nutrisi parenteral

  1. Indikasi

1.      Keadaan emergency (misal pada tindakan RJP), yang memungkinkan pemberian obat langsung ke dalam IV

2.      Keadaan ingin mendapatkan respon yang cepat terhadap pemberian obat

3.      Klien yang mendapat terapi obat dalam dosis besar secara terus-menerus melalui IV

4.      Klien yang mendapat terapi obat yang tidak bisa diberikan melalui oral atau intramuskuler

5.      Klien yang membutuhkan koreksi/pencegahan gangguan cairan dan elektrolit

6.      Klien yang sakit akut atau kronis yang membutuhkan terapi cairan

7.      Klien yang mendapatkan tranfusi darah

8.      Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat)

9.      Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.

  1. Kontraindikasi

Infus dikontraindikasikan pada daerah:

1.             Daerah yang memiliki tanda-tanda infeksi, infiltrasi atau trombosis

2.             Daerah yang berwarna merah, kenyal, bengkak dan hangat saat disentuh

3.             Vena di bawah infiltrasi vena sebelumnya atau di bawah area flebitis

4.             Vena yang sklerotik atau bertrombus

5.             Lengan dengan pirai arteriovena atau fistula

6.             Lengan yang mengalami edema, infeksi, bekuan darah, atau kerusakan kulit

7.             Lengan pada sisi yang mengalami mastektomi (aliran balik vena terganggu)

8.             Lengan yang mengalami luka bakar

  1. Macam-Macam Infus
  • Continous Infusion (Infus berlanjut) mengunakan alat control

Infus ini bisa diberikan  secara tradisional melalui cairan yang digantung, dengan atau tanpa pengatur  kecepatan aliran. Infus melalui intravena, intra arteri dan intra techal (spinal) dapat dilengkapi dengan menggunakan pompa khusus yang ditanam maupun eksternal.

Keuntungan:

1.      Mampu untuk menginfus cairan dalam jumlah besar dan kecil dengan akurat

2.      Adanya alarm menandakan adanya masalah seperti adanya udara di selang infus atau adanya penyumbatan

3.      Mengurangi waktu perawat untuk memastikan kecepatan aliran infus

Kerugian:

1.    Memerlukan selang khusus

2.    Biaya lebih mahal

3.    Pompa infus akan dilanjutkan untuk menginfus kecuali ada infiltrasi

Contoh alat pengontrol infus:

Syringe  pump                                                                   Infus pump

  • Intermittent Infusion (Infus sementara)

Infus ini dapat diberikan melalui “heparin lock”, “piggybag” untuk infus yang kontinyu, atau untuk terapi jangka panjang melalui perangkat infus .

Keuntungan :

1.      Inkompabilitas dihindari

2.      Dosis obat yang lebih besar dapat diberikan dengan konsentrasi permililiter yang lebih rendah daripada yang dipraktikkan dengan metode dorongan IV.

Kerugian :

1.      Kecepatan pemberian tidak dikontrol dengan teliti kecuali infus dipantau secara elektronik

2.      Volume yang ditambahkan 50-100 ml cairan IV dapat menyebabkan kelebihan cairan pada beberapa pasien

  1. Prinsip Gerontologis dan Pediatrik Pemberian Infus
  • Pediatrik

1.    Karena vena klien sangat rapuh, hindari tempat-tempat yang mudah digerakkan atau digeser dan gunakan alat pelindung sesuai kebutuhan (pasang spalk kalau perlu)

2.    Pilih aktivitas sesuai usia yang sesuai dengan pemeliharaan infus IV

3.    Vena-vena kulit kepala sangat mudah pecah dan memerlukan perlindunga agar tidak mudah mengalami infiltrasi (biasanya digunakan untuk neonatus dan bayi)

4.    Selalu memilih tempat penusukan yang akan menimbulkan pembatasan yang minimal

5.    Kebanyakan klien pediatrik biasanya menggunakan kateter/jarum ukuran 22 G-24  G

  • Gerontik

1.           Pada klien lansia, sedapat mungkin gunakan kateter/jarum dengan ukuran paling kecil (24-26). Ukuran kecil mengurangi trauma pada vena dan memungkinkan aliran darah lebih lancar sehingga hemodilusi cairan intravena atau obat-obatan akan meningkat.

2.           Hindari bagian punggung tangan atau lengan lansia yang dominan untuk tempat pungsi, karena akan mengganggu kemandirian lansia

3.           Apabila kulit dan vena lansia rapuh, gunakan tekanan torniket yang minimal

4.           Kestabilan vena menjadi hilang dan vena akan bergeser dari jarum (jaringan subkutan lansia hilang). Untuk menstabilkan vena, pasang traksi pada kulit di bawah tempat insersi

5.           Penggunaan sudut 5 – 15 ° saat memasukkan jarum akan sangat bermanfaat karena vena lansia lebih superficial

6.           Pada lansia yang memiliki kulit yang rapuh, cegah terjadinya perobekan kulit dengan meminimalkan jumlah pemakaian plester.

  1. Komplikasi
  • Komplikasi lokal

1. Flebitis

Inflamasi vena yang disebabkan oleh  iritasi kimia maupun mekanik.  Kondisi ini dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang memerah dan hangat di sekitar daerah insersi/penusukan atau sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak pada area insersi atau sepanjang vena, dan pembengkakan. Insiden flebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komposisi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan tonisitasnya, ukuran dan tempat kanula dimasukkan, pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme saat penusukan).

Intervensi :

§   Menghentikan IV dan memasang pada daerah lain

§   Tinggikan ekstremitas

§   Memberikan kompres hangat dan basah di tempat yang terkena

Pencegahan :

§ Gunakan tehnik aseptik selama pemasangan

§ Menggunakan ukuran kateter dan jarum yang sesuai dengan vena

§ Mempertimbangkan komposisi cairan dan medikasi ketika memilih area insersi

§ Mengobservasi tempat insersi akan adanya kemungkinan komplikasi apapun setiap jam

§ Menempatkan kateter atau jarum dengan baik

§ Mengencerkan obat-obatan yang mengiritasi jika mungkin

2. Infiltrasi

Infiltrasi terjadi ketika cairan IV memasuki ruang subkutan di sekeliling tempat pungsi vena. Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya pembengkakan (akibat peningkatan cairan di jaringan), palor (disebabkan oleh sirkulasi yang menurun) di sekitar area insersi, ketidaknyamanan dan penurunan kecepatan aliran secara nyata.  Infiltrasi mudah dikenali jika tempat penusukan lebih besar daripada tempat yang sama di ekstremitas yang berlawanan. Suatu cara yang lebih dipercaya untuk memastikan infiltrasi adalah dengan memasang torniket di atas atau di daerah proksimal dari tempat pemasangan infus dan mengencangkan torniket tersebut secukupnya untuk menghentikan  aliran vena. Jika infus tetap menetes meskipun ada obstruksi vena, berarti terjadi infiltrasi.

Intervensi:

§ Menghentikan infus (infus IV seharusnya dimulai di tempat baru atau proksimal dari infiltrasi jika ekstremitas yang sama digunakan)

§ Meninggikan ekstremitas klien untuk mengurangi ketidaknyamanan (meningkatkan drainase vena dan membantu mengurangi edema)

§ Pemberian kompres hangat (meningkatkan sirkulasi dan mengurangi nyeri)

Pencegahan:

§ Mengobservasi daerah pemasangan infus secara kontinyu

§ Penggunaan kanula yang sesuai dengan vena

§ Minta klien untuk melaporkan jika ada nyeri dan bengkak pada area pemasangan infus

3. Iritasi vena

Kondisi ini ditandai dengan nyeri selama diinfus, kemerahan pada kulit di atas area insersi. Iritasi vena bisa terjadi karena cairan dengan pH tinggi, pH rendah atau osmolaritas yang tinggi (misal: phenytoin, vancomycin, eritromycin, dan nafcillin)

Intervensi:

§ Turunkan aliran infus

Pencegahan:

§ Encerkan  obat sebelum diberikan

§ Jika terapi obat yang menyebabkan iritasi direncanakan dalam jangka waktu lama, sarankan dokter untuk memasang central IV.

4. Hematoma

Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke jaringan di sekitar area insersi. Hal ini disebabkan oleh pecahnya dinding vena yang berlawanan selama penusukan vena, jarum keluar vena, dan tekanan yang tidak sesuai yang diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau kateter dilepaskan. Tanda dan gejala hematoma yaitu ekimosis, pembengkakan segera pada tempat penusukan, dan kebocoran darah pada tempat penusukan.

Intervensi:

§ Melepaskan jarum atau kateter dan memberikan tekanan dengan kasa steril

§ Memberikan kantong es selama 24 jam ke tempat penusukan dan kemudian memberikan kompres hangat untuk meningkatkan absorpsi darah

§ Mengkaji tempat penusukan

§ Memulai lagi uintuk memasang pada ekstremitas lain jika diindikasikan

Pencegahan:

§ Memasukkan jarum secara hati-hati

§ Lepaskan torniket segera setelah insersi berhasil

5. Tromboflebitis

Tromboflebitis menggambarkan adanya bekuan ditambah peradangan dalam vena. Karakteristik tromboflebitis adalah adanya nyeri yang terlokalisasi, kemerahan, rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar area insersi atau sepanjang vena, imobilisasi ekstremitas karena adanya rasa tidak nyaman dan pembengkakan, kecepatan aliran yang tersendat, demam, malaise,  dan leukositosis.

Intervensi:

§ Menghentikan IV

§ Memberikan kompres hangat

§ Meninggikan ekstremitas

§ Memulai jalur IV di ekstremitas yang berlawanan

Pencegahan:

§ Menghindarkan trauma pada vena pada saat IV  dimasukkan

§ Mengobservasi area insersi tiap jam

§ Mengecek tambahan pengobatan untuk kompabilitas

6. Trombosis

Trombosis ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak pada vena, dan aliran infus berhenti. Trombosis disebabkan oleh injuri sel endotel dinding vena, pelekatan platelet.

Intervensi:

§ Menghentikan IV

§ Memberikan kompres hangat

§  Perhatikan terapi IV yang diberikan (terutama yang berhubungan dengan infeksi, karena thrombus akan memberikan lingkungan yang istimewa/baik untuk pertumbuhan bakteri)

Pencegahan:

§ Menggunakan tehnik yang tepat untuk mengurangi injuri pada vena

7. Occlusion

Occlusion ditandai dengan tidak adanya penambahan aliran ketika botol dinaikkan, aliran balik  darah di selang infus, dan tidak nyaman pada area pemasangan/insersi. Occlusion disebabkan oleh gangguan aliran IV, aliran balik darah ketika pasien berjalan, dan selang diklem terlalu lama.

Intervensi:

§ Bilas dengan injeksi cairan, jangan dipaksa jika tidak sukses

Pencegahan:

§ Pemeliharaan aliran IV

§ Minta pasien untuk menekuk sikunya ketika berjalan (mengurangi risiko aliran darah balik)

§ Lakukan pembilasan segera setelah pemberian obat

8. Spasme vena

Kondisi ini ditandai dengan nyeri sepanjang vena, kulit pucat di sekitar vena, aliran berhenti meskipun klem sudah dibuka maksimal. Spasme vena bisa disebabkan oleh pemberian darah atau cairan yang dingin, iritasi vena oleh obat atau cairan yang mudah mengiritasi vena dan aliran yang terlalu cepat.

Intervensi:

§ Berikan kompres hangat di sekitar area insersi

§ Turunkan kecepatan aliran

Pencegahan:

§ Apabila akan memasukkan darah (missal PRC), buat hangat terlebih dahuilu.

9. Reaksi vasovagal

Kondisi ini digambarkan dengan klien tiba-tiba terjadi kollaps pada vena, dingin, berkeringat, pingsan, pusing, mual dan penurunan tekanan darah.. Reaksi vasovagal bisa disebabkan oleh nyeri atau kecemasan

Intervensi:

§ Turunkan kepala tempat tidur

§ Anjurkan klien untuk nafas dalam

§ Cek tanda-tanda vital (vital sign)

Pencegahan:

§ Siapkan klien ketika akan mendapatkan terapi, sehingga bisa mengurangi kecemasan yang dialami

§ Gunakan anestesi lokal untuk mengurangi nyeri (untuk klien yang tidak tahan terhadap nyeri)

10. Kerusakan syaraf, tendon dan ligament

Kondisi ini ditandai oleh  nyeri ekstrem, kebas/mati rasa, dan kontraksi otot. Efek lambat yang bisa  muncul adalah paralysis, mati rasa dan deformitas. Kondisi ini disebabkan oleh tehnik pemasangan yang tidak tepat sehingga menimbulkan injuri di sekitar syaraf, tendon dan ligament.

Intervensi:

§ Hentikan pemasangan infus

Pencegahan:

§ Hindarkan pengulangan insersi pada tempat yang sama

§ Hindarkan  memberikan penekanan yang berlebihan  ketika mencari lokasi vena

  • Komplikasi sistemik

1. Septikemia/bakteremia

Adanya susbtansi pirogenik baik dalam larutan infus atau alat pemberian dapat mencetuskan reaksi demam dan septikemia. Perawat dapat melihat kenaikan suhu tubuh secara mendadak segera setelah infus dimulai, sakit punggung, sakit kepala, peningkatan nadi dan frekuensi pernafasan, mual dan muntah, diare, demam dan menggigil, malaise umum, dan jika parah  bisa terjadi kollaps vaskuler. Penyebab septikemi adalah kontaminasi pada produk IV, kelalaian tehnik aseptik. Septikemi terutama terjadi pada klien yang mengalami penurunan imun.

Intervensi:

§ Monitor tanda vital

§ Lakukan kultur kateter IV, selang atau larutan yang dicurigai.

§ Berikan medikasi jika diresepkan

Pencegahan:

§ Gunakan tehnik steril pada saat pemasangan

§ Gantilah tempat insersi, dan cairan, sesuai ketentuan yang berlaku

2. Reaksi alergi

Kondisi ini ditandai dengan gatal, hidung dan mata berair, bronkospasme, wheezing, urtikaria, edema pada area insersi, reaksi anafilaktik (kemerahan, cemas,  dingin, gatal, palpitasi, paresthesia, wheezing, kejang dan kardiak arrest). Kondisi ini bisa disebabkan oleh allergen, misal karena medikasi.

Intervensi :

§ Jika reaksi terjadi, segera hentikan infus

§ Pelihara jalan nafas

§ Berikan antihistamin steroid, antiinflamatori dan antipiretik jika diresepkan

§ Jika diresepkan berikan epinefrin

§ Jika diresepkan berikan kortison

Pencegahan:

§ Monitor pasien setiap 15 menit setelah mendapat terapi obat baru

§ Kaji riwayat alergi klien

3. Overload sirkulasi

Membebani sistem sirkulasi dengan cairan intravena yang berlebihan akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan tekanan vena sentral, dipsnea berat, dan sianosis. Tanda dan gejala tambahan termasuk batuk dan kelopak mata yang membengkak.  Penyebab yang mungkin termasuk adalah infus larutan IV yang terlalu cepat atau penyakit hati, jantung dan ginjal. Hal ini juga mungkin bisa terjadi pada pasien dengan gangguan jantung yang disebut denga kelebihan beban sirkulasi.

Intervensi:

§ Tinggikan kepala tempat tidur

§ Pantau tanda-tanda vital setiap 30 menit sampai 1 jam sekali

§ Jika diperlukan berikan oksigen

§ Mengkaji bunyi nafas

§ Jika diresepkan berikan furosemid

Pencegahan:

§ Sering memantau tanda-tanda vital

§ Menggunakan pompa IV untuk menginfus

§ Melakukan pemantauan secara cermat terhadap semua infus

4. Embolisme udara

Emboli udara paling sering berkaitan dengan kanulasi vena-vena sentral. Manifestasi klinis emboli udara adalah dipsnea dan sianosis, hipotensi, nadi yang lemah dan cepat, hilangnya kesadaran, nyeri dada, bahu, dan punggung bawah.

Intervensi :

§ Klem atau hentikan infus

§ Membaringkan pasien miring ke kiri dalaam posisi Trendelenburg

§ Mengkaji tanda-tanda vital dan bunyi nafas

§ Memberikan oksigen

Pencegahan:

§ Pastikan sepanjang selang IV telah bebas dari udara, baru memulai menyambungkan infus

§ Pastikan semua konektor tersambung dengan baik

  1. Cara Pemilihan Daerah Infus

Banyak tempat bisa digunakan untuk terapi intravena, tetapi kemudahan akses dan potensi bahaya berbeda di antara tempat-tempat ini. Pertimbangan perawat dalam memilih vena adalah sebagai berikut:

§ Usia klien (usia dewasa biasanya menggunakan vena di lengan, sedangkan infant biasanya menggunakan vena di kepala dan kaki)

§ Lamanya pemasangan infus (terapi jangka panjang memerlukan pengukuran untuk memelihara vena)

§ Type larutan yang akan diberikan

§ Kondisi vena klien

§ Kontraindikasi vena-vena tertentu yang tidak boleh dipungsi

§ Aktivitas pasien (misal bergerak, tidak bergerak, perubahan tingkat kesadaran, gelisah)

§ Terapi IV sebelumnya (flebitis sebelumnya membuat vena menjadi tidak baik untuk digunakan)

Tempat insersi/pungsi vena yang umum digunakan adalah tangan dan lengan. Namun vena-vena superfisial di kaki dapat digunakan jika klien dalam kondisi tidak memungkinkan dipasang di daerah tangan. Apabila memungkinkan, semua klien sebaiknya menggunakan ekstremitas yang tidak dominan.

Berikut ini adalah gambar tempat yang bisa dipasang infus:

Panduan singkat pemilihan vena:

§ Gunakan vena distal lengan untuk pilihan pertama

§ Jika memungkinkan pilih lengan non dominan

§ Pilih vena-vena di atas area fleksi

§ Gunakan vena kaki jika vena lengan tidak dapat diakses

§ Pilih vena yang mudah diraba, vena yang besar dan yang memungkinkan aliran cairan adequat

§ Pastikan bahwa lokasi yang dipilih tidak akan mengganggu aktivitas sehari-hari pasien

§ Pilih lokasi yang tidak mempengaruhi pembedahan atau prosedur-prosedur yang direncanakan

Tips untuk vena yang sulit:

§ Pasien gemuk, tidak dapat mempalpasi atau melihat vena——–buat citra visual dari anatomi vena, pilih kateter yang lebih panjang

§ Kulit dan vena mudah pecah, infiltrasi terjadi setelah penusukan——gunakan tekanan torniket yang minimal

§ Vena bergerak ketika ditusuk—–fiksasi vena menggunakan ibu jari ketika melakukan penusukan

§ Pasien dalam keadaan syok atau mempunyai aliran balik vena minimal—-biarkan torniket terpasang untuk meningkatkan distensi vena, gunakan kateter no. 18 atau 16.

Hindari menggunakan vena berikut:

§ Vena pada area fleksi (misal:fossa ante cubiti)

§ Vena yang rusak karena insersi sebelumnya (misal karena flebitis, infiltrasi atau sklerosis)

§ Vena yang nyeri palpasi

§ Vena yang tidak stabil, mudah bergerak ketika jarum dimasukkan

§ Vena yang mudah pecah

§ Vena yang berbelok-belok

§ Vena dorsal yang rapuh pada klien lansia dan pembuluh darah pada ekstremitas dengan gangguan sirkulasi (misal pada mastektomi, graft dialysis atau paralysis)

Cara memunculkan vena:

§ Mengurut ekstremitas dari distal ke proksimal di bawah tempat pungsi vena yang dituju

§ Minta klien menggenggam dan membuka genggaman secara bergantian

§ Ketuk ringan di atas vena

§ Gunakan torniket sedikitnya 5-15 cm di atas tempat yang akan diinsersi, kencangkan torniket

§ Berikan kompres hangat pada ekstremitas selama beberapa menit (misal dengan waslap hangat)

  1. Cara Penghitungan Cairan Infus

Mengatur ketepatan aliran dan regulasi infus adalah tanggung jawab perawat. Masalah yang dapat muncul apabila perawat tidak memperhatikan regulasi infus adalah hipervolemia dan hipovolemia. Dalam menentukan tetesan infus, perawat perlu memperhatikan faktor tetesan yang akan digunakan. Faktor tetesan yang sering digunakan adalah:

§ Mikrodrips  (tetes mikro)     : 60 tetes/ml (infuset mikro)

§ Makrodrips (tetes makro)    : 10 tetes/ml, 15 tetes/ml, 20 tetes/ml (infuset regular/makro)

Untuk mengatur tetesan infus, perawat harus mengetahui volume cairan yang akan dimasukkan dan waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan cairan infus. Penghitungan cairan yang sering digunakan adalah penghitungan millimeter perjam (ml/h) dan penghitungan tetes permenit.

§ Millimeter per jam

Contoh: 3000 ml diinfuskan dalam 24 jam, maka jumlah milliliter perjamnya adalah sebagai berikut:

3000 / 24 = 125 ml/h

§ Tetes per menit

Contoh: 1000 ml dalam 8 jam, faktor tetesan 20

1000 x 20 / 8 x 60 = 41 tpm (tetes per menit)

Faktor yang mempengaruhi tetesan infus:

§ Posisi lengan

Posisi lengan klien terkadang bisa menurunkan aliran infus. Sedikit pronasi, supinasi, ekstensi atau elevasi lengan  dengan bantal dapat meningkatkan aliran.

§ Posisi dan kepatenan selang infus (aliran berbanding langsung dengan diameter selang)

Aliran akan lebih cepat melalui kanula dengan diameter besar, berlawanan dengan kanul kecil.

§ Posisi botol infus

Menaikkan ketinggian wadah infus dapat memperbaiki aliran yang tersendat-sendat (aliran berbanding langsung dengan ketinggian bejana cairan).

§ Larutan/cairan yang dialirkan (aliran berbanding terbalik dengan viskositas cairan)

Larutan intravena yang kental, seperti darah, membutuhkan kanula yang lebih besar dibandingkan dengan air atau larutan salin.

§ Panjang selang (aliran berbanding terbalik dengan panjang selang)

Menambah panjang selang pada jalur IV akan menurunkan aliran.

  1. Hal-hal yang perlu diperhatikan
  • Sebelum pemberian obat

1.      Pastikan bahwa obat sesuai dengan anjuran

2.      Periksa larutan/cairan sebelum dimasukkan (masa kadaluarsa, keutuhan botol, ada bagian yang bocor atau tidak)

3.      Hindarkan memasang infus pada daerah-daerah yang infeksi, vena yang telah rusak, vena pada daerah fleksi dan vena yang tidak stabil

4.      Gunakan jarum sesuai dengan kondisi vena klien

5.      Larutkan obat sesuai indikasi, banyak obat yang dapat mengiritasi vena dan memerlukan pengenceran yang sesuai

6.      Pastikan kecepatan pemberiannya dengan benar

7.      Jika akan memberikan obat melalui selang infus yang sama, akan lebih baik jika dibilas terlebih dulu dengan cairan fisiologis (misal NaCl)

8.      Kaji kondisi pasien dan toleransinya terhadap obat yang diberikan

9.      Kaji kepatenan jalan infus

10.  Perhatikan waktu pemasangan infus, ganti tempat pemasangan jika ada tanda-tanda infeksi

  • Respon pasien terhadap obat

1.      Adakah efek mayor yang  timbul (anafilaksis, respiratori distress, takikardia, bradikardi, kejang)

2.      Adakah efek samping minor (mual, pucat, kulit kemerahan atau bingung)

  1. Pemeliharaan infus

§ Periksa area insersi

§ Periksa seluruh system IV (jumlah cairan, kecepatan aliran, integritas jalur, posisi jalur halus, kondisi area insersi,  kondisi proksimal vena sampai area insersi)

§ Kaji adanya komplikasi terapi IV

§ Kaji respon klien terhadap terapi

§ Lakukan perawatan pada daerah insersi (sesuai kebijakan institusi)

  1. Persiapan Pasien

§ Jelaskan pada pasien tentang prosedur yang akan dilakukan (meliputi proses pungsi vena, informasi tentang lamanya infus dan pembatasan aktivitas)

§ Jika pasien akan menggunakan anestesi lokal pada area insersi, tanyakan adanya alergi terhadap anestesi yang digunakan

§ Jika pasien tidak menggunakan anestesi, jelaskan bahwa nanti akan muncul  nyeri ketika jarum dimasukkan, tapi akan hilang ketika kateter sudah masuk.

§ Jelaskan bahwa cairan yang masuk awalnya akan terasa dingin, tapi sensasi itu hanya akan terasa pada beberapa menit saja.

§ Jelaskan pada pasien bahwa jika ada keluhan/ketidaknyamanan  selama pemasangan, supaya menghubungi perawat.

  1. Persiapan Alat

§ Larutan yang benar

§ Jarum yang sesuai (abbocath, wing needle/butterfly)

§ Set infus

§ Selang intravena

§ Alkohol dan swab pembersih yodium—povidon

§ Torniket

§ Sarung tangan sekali pakai

§ Kasa atau balutan trasparan dan larutan atau salep yodium—povidon

§ Plester

§ Handuk/pengalas tangan

§ Tiang penyangga IV

§ Bengkok (tempat pembuangan jarum)

§ Gunting

Contoh jarum infus/abbocath:

§ ONC (over the  needle cannula)

Tujuan      : terapi jangka panjang untuk pasien agitasi atau pasien yang aktif

Manfaat        : lebih nyaman bagi klien,  ada tempat untuk mengecek aliran darah balik, kerusakan pada vena lebih kecil.

Kerugian      : lebih sulit dimasukkan daripada alat lain

§ Through the needle cannula

Tujuan          : terapi jangka panjang untuk pasien agitasi atau pasien yang aktif

Manfaat        : kerusakan pada vena lebih kecil, lebih nyaman bagi klien,  tersedia dalam berbagai ukuran panjang.

Kerugian      : biasanya untuk pasien lansia, menimbulkan kebocoran.

§ Wing needle:

Tujuan         : terapi jangka pendek untuk pasien yang kooperatif, terapi untuk   neonatus, anak atau lansia dengan vena yang fragile dan sklerotik

Manfaat                : meminimalkan nyeri ketika insersi, ideal untuk memasukkan obat

Kerugian           : mudah menimbulakan infiltrasi , jika wing needle kaku yang digunakan

Contoh ukuran jarum:

§ nomor 16——bedah mayor atau trauma

§ nomor 18——darah dan produk  darah, pemberian obat-obat yang kental

§ nomor 20——digunakan pada kebanyakan pasien

§ nomor 22——digunakan pada kebanyakan pasien, terutama anak-anak dan orangtua

§ nomor 24——pasien pediatric atau neonatus

Semakin besar ukuran, semakin kecil caliber kateter.

Contoh gambar selang infus:

Gambar pemasangan torniket:

Contoh pungsi vena:

Contoh cara fiksasi infus:

Metode chevron                      Metode H                                Metode U

Contoh pemberian tanggal                                 Contoh cara membersihkan tempat insersi:

  1. Prosedur Kerja Pungsi/Pemasangan Infus

1.           Baca  status dan data klien untuk memastikan program terapi IV

2.           Cek alat-alat yang akan digunakan

3.           Cuci tangan

4.           Beri salam dan panggil klien sesuai dengan namanya

5.           Perkenalkan nama perawat

6.           Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada klien

7.           Jelaskan tujuan tindakan yang dilakukan

8.           Beri kesempatan pada klien untuk bertanya

9.           Tanyakan keluhan klien saat ini

10.       Jaga privasi klien

11.       Dekatkan alat-alat ke sisi tempat tidur klien

12.       Tinggikan tempat tidur sampai ketingian kerja yang nyaman

13.       Letakkan klien dalam posisi semifowler  atau supine jika tidak memungkinkan (buat klien senyaman mungkin)

14.       Buka kemasan steril dengan meanggunakan tehnik steril

15.       Periksa larutan dengan menggunakan lima benar dalam pemberian obat

16.       Buka set infus, pertahankan sterilitas kedua ujungnya

17.       Letakkan klem yang dapat digeser tepat di bawah ruang drip dan gerakkan klem pada posisi off

18.       Lepaskan pembungkus lubang slang IV pada kantung larutan IV plastik tanpa menyentuh ujung tempat masuknya alat set infuse

19.       Tusukkan set infus ke dalam kantong atau botol cairan (untuk kantong, lepaskan penutup protektor dari jarum insersi selang, jangan menyentuh jarumnya, dan tusukkan jarum ke lubang kantong IV. Untuk botol, bersihkan stopper pada botol dengan menggunakan antiseptik dan tusukkan jarum ke karet hitam stopper botol IV.

20.       Gantungkan botol infus yang telah dihubungkan dengan set infus pada tempat yang telah disediakan (pertahankan kesterilan set infus)

21.       Isi selang infus dengan cairan, pastikan tidak ada udara dalam selang (terlebih dulu lakukan pengisian pada ruang tetesan/the drip chamber). Setelah selang terisi, klem dioffkan dan penutup ujung selang infus ditutup

22.       Beri label pada IV dengan nama pasien, obat tambahan, kecepatan pemberian.

23.       Pasang perlak kecil/pengalas di bawah lengan/tangan yang akan diinsersi

24.       Kenakan sarung tangan sekali pakai

25.       Identifikasi aksesibilitas vena untuk pemasangan kateter IV atau jarum

26.       Posisikan tangan yang akan diinsersi lebih rendah dari jantung, pasang torniket mengitari lengan, di atas fossa antekubital atau 10-15 cm di atas tempat insersi yang dipilih (jangan memasang torniket terlalu keras untuk menghindari adanya cidera atau memar pada kulit). Pastikan torniket bisa menghambat aliran IV. Periksa nadi distal.

27.       Pilih vena yang berdilatasi baik, dimulai dari bagian distal, minta klien untuk mengepal dan membuka tangan (apabila belum menemukan vena yang cocok, lepaskan dulu torniket, dan ulangi lagi setelah beberapa menit).

28.       Bersihkan tempat insersi dengan kuat, terkonsentrasi, dengan gerakan sirkuler dari tempat insersi ke daerah luar dengan larutan yodium—povidon, biarkan sampai kering. (klien yang alergi terhadap yodium, gunakan alkohol 70 % selama 30 detik)

29.       Lakukan pungsi vena, fiksasi vena dengan menempatkan ibu jari tangan yang tidak memegang alat infus di atas vena dengan cara meregangkan kulit. Lakukan penusukan dengan sudut 20-30°, tusuk perlahan dengan pasti

30.       Jika tampak aliran darah balik, mengindikasikan jarum telah masuk vena.

31.       Rendahkan posisi jarum sejajar kulit dan tarik jarum sedikit lalu teruskan plastik IV kateter ke dalam vena

32.       Stabilkan kateter IV dengan satu tangan dan lepaskan torniket dengan tangan yang lain

33.       Tekan dengan jari ujung plastik IV karteter, lalu tarik jarum infus keluar

34.       Sambungkan plastic IV kateter dengan ujung selang infus dengan gerakan cepat, jangan menyentuh titik masuk selang infus

35.       Buka klem untuk memulai aliran infus sampai cairan mengalir lancar

36.       Fiksasi sambungan kateter infus (apabila sekitar area insersi kotor, bersihkan terlebih dulu)

37.       Oleskan dengan salep betadin di atas area penusukan, kemudian tutup dengan kasa steril, pasang plester

38.       Atur tetesan infus sesuai ketentuan

39.       Beri label pada temapt pungsi vena dengan tanggal, ukuran kateter, panjang kateter, dan inisial perawat.

40.       Buang sarung tangan dan persediaan yang digunakan

41.       Cuci tangan

42.       Berikan reinforcement positif

43.       Buat kontrak pertemuan selanjutnya

44.       Akhiri kegiatan dengan baik

45.       Observasi klien setiap jam untuk menentukan respon terhadap terapi cairan (jumlah cairan benar sesuai program yang ditetapkan, kecepatan aliran benar, kepatenan vena, tidak terdapat infiltrasi, flebitis atau inflamasi)

46.       Dokumentasikan di catatan perawatan (tipe cairan, tempat insersi, kecepatanaliran, ukuran dan tipe kateter atau jarum, waktu infus dimulai, respon terhadap cairan IV, jumlah yang diinfuskan, integritas serta kepatenan sistem IV.

PERAWATAN INFUS

A. Definisi

Perawatan infus merupakan tindakan yang dilakukan dengan mengganti balutan/plester  pada area insersi infus. Frekuensi penggantian balutan ditentukan oleh kebijakan institusi. Dulu penggantian balutan dilakukan setiap hari, tapi saat ini telah dikurangi menjadi setiap 48 sampai 72 jam sekali, yakni bersamaan dengan penggantian daerah pemasangan IV (Gardner, 1996)

B. Tujuan

  1. Mempertahankan tehnik steril
  2. Mencegah masuknya bakteri ke dalam aliran darah
  3. Pencegahan/meminimalkan  timbulnya infeksi
  4. Memantau area insersi

C. Indikasi

  1. Pasien yang dipasang infus lebih dari satu hari
  2. Balutan infus basah atau kotor

D. Persiapan pasien

1.      Jelaskan pada pasien tujuan dari penggantian balutan

2.      Jelaskan akibat apabila balutan tidak diganti

E. Persiapan alat

1.      Kasa steril

2.      Larutan atau salep yodium—povidin

3.      Pinset

4.      Kapas alkohol

5.      Plester

6.      Sarung tangan sekali pakai

7.      Bengkok

8.      Perlak kecil atau pengalas

9.      Gunting

F. Hal-hal yang perlu diperhatikan

  1. Kaji area insersi saat mengganti balutan
  2. Kaji adanya tanda-tanda komplikasi
  3. Pertahankan tehnik steril ketika mengganti balutan

Prosedur Kerja Perawatan Infus

1.      Identifikasi data klien

2.      Kaji kebutuhan perawatan infus

3.      Siapkan peralatan (kasa steril, larutan atau salep yodium—povidin, pinset, kapas alkohol, plester, sarung tangan sekali pakai, bengkok, pengalas/perlak kecil, gunting)

4.      Cuci tangan

5.      Jaga privasi klien

6.      Beri salam dan panggil klien sesuai dengan namanya

7.      Perkenalkan nama perawat

8.      Jelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan

9.      Berikan kesempatan klien untuk bertanya

10.  Tanyakan keluhan klien

11.  Dekatkan alat-alat ke samping  klien

12.  Tinggikan tempat tidur sampai ketingian kerja yang nyaman

13.  Posisikan klien senyaman mungkin

14.  Letakkan pengalas/perlak kecil di bawah tangan

15.  Pakai sarung tangan sekali pakai

16.  Lepaskan balutan trasparan searah dengan arah pertumbuhan rambut klien atau lepaskan plester dan kasa balutan yang lama selapis demi selapis. Untuk kedua balutan trasparan dan balutan kasa, biarkan plester memfiksasi jarum IV atau kateter tetap di tempat.

17.  Hentikan infus jika terjadi flebitis, infiltrasi, bekuan, atau ada instruksi dokter untuk melepas

18.  Apabila infus mengalir dengan baik, lepaskan plester yang memfiksasi jarum dan kateter. Stabilkan jarum dengan satu tangan

19.  Gunakan pinset dan kasa untuk membersihkan dan mengangkat sisa plester

20.  Bersihkan tempat insersi dengan gerakan memutar dari dalam kearah luar dengan menggunakan  yodium—povidon.

21.  Pasang plester untuk fiksasi

22.  Oleskan salep atau yodium—povidon.di tempat insersi infus

23.  Letakkan kasa kecil diatas salep/ yodium—povidon.

24.  Tutup kasa dengan plester

25.  Tulis tanggal dan waktu penggantian balutan

26.  Bereskan alat-alat yang telah digunakan

27.  Lepas sarung tangan dan cuci tangan

28.  Kaji kembali fungsi dan kepatenan infus

29.  Kaji respon klien

30.  Berikan renforcement positif

31.  Buat kontrak pertemuan selanjutnya

32.  Akhiri kegiatan dengan baik

33.  Dokumentasikan waktu penggantian balutan, tipe balutan, kepatenan sistem IV, kondisi daerah vena, respon  klien.

Daftar Pustaka

Potter dan Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik. Vol 2. Jakarta: EGC

Rocca, et.al. 1998. Seri Pedoman Praktis: Terapi Intravena. Edisi 2. Jakarta: EGC

Kozier, et al. 1995. Fundamental Of  Nursing: Concepts, process and practice 5th edition. California : Addison- Wesley

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2001. Penatalaksanaan Pasien Di Intensif Care Unit. Jakarta: Sagung Seto

Hudak, et.,al. 1997. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Vol. 1. Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 1. Jakarta: EGC

Laboratorium Ketrampilan Keperawatan  PSIK FK UGM. 2002. SKILLS  LAB: Pendidikan Ketrampilan Keperawatan. Yogyakarta: PSIK FK UGM

Baranoski, S., et.al.2004. Nursing Prosedures. 4th edition. USA: Lippincoth William & Wilkins

Potter & Perry. 2005. Buku Saku: Ketrampilan & Prosedur Dasar. Edisi 5. Jakarta: EGC

Price, et.al. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC

Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius FK UI

Nurachmah, dkk. 2000. Buku Saku: Prosedur Keperawata Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Weinstein, S. 2001. Buku Saku: Terapi Intravena. Edisi 2. Jakarta: EGC

Hidayat, A, dkk. 2005. Buku Saku: Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC

Swearingen, P. et al. 2001. Seri Pedoman Praktis: Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Asam Basa. Edisi 2. Jakarta: EGC

KONSEP DASAR KEPERAWATAN KELUARGA

1. PENGERTIAN

Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing – masing yang merupakan bagian dari keluarga. (Friedman, 1998)

Keluarga adalah suatu ikatan/persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendiriran dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi, dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.(Sayekti, 1994)

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. (UU No.10 tahun 1992)

2. TIPE KELUARGA

Secara tradisional ;

a.      Keluarga inti (nuclear  family)

Keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya

b.      Keluarga besar (extended family)

Keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (misal;kakek-nenek, paman-bibi)

Dengan berkembangnya peran individu dan meningkatnya rasa individualisme, tipe keluarga berkembang menjadi ;

a.   Keluarga bentukan kembali (dyadic family)

Keluarga baru yang terbentuk dari pasangan yang telah cerai atau kehilangan pasangannya.

b.   Orang tua tunggal (single parent family)

Keluarga yang terdiri dari salah satu orang tua dengan anak-anak akibat perceraian atau ditinggal pasangannya.

c.       Ibu dengan anak tanpa perkawinan (the unmarried teenage mother)

d.   Orang dewasa (laki-laki atau perempuan) yang tinggal sendiri tanpa pernah menikah (the single adult living alone)

e. Keluarga dengan anak tanpa pernikahan sebelumnya (the non-marital heterosexual cohabiting family)

f. Keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama (gay and lesbian family)

3. TAHAP PERKEMBANGAN

Perbedaan tahap perkembangan :

Carter dan  McGoldrick

(family therapy perspective)

Duvall

(sociological perspective)

1.      Keluarga antara : masa bebas (pacaran) dewasa muda Tidak diidentifikasi karena periode waktu antara dewasa dan menikah tak dapat ditentukan
2.      Terbentuknya keluarga baru melalui suatu perkawinan 1.      Keluarga baru menikah
3.      Keluarga yang memiliki anak usia muda (anak usia bayi sampai usia sekolah) 2.      Kelurga dengan anak baru lahir (usia anak tertua sampai 30 bulan)

3.      Kelurga dengan anak prasekolah (usia anak tertua 2,5 s/d  5 tahun)

4.      Keluarga dengan anak usia sekolah (usia anak tertua 6 – 12 tahun)

4.      Keluarga yang memiliki anak dewasa 5.      Keluarga dengan anak remaja (usia anak tertua 13 – 20 tahun)
5.      Keluarga yang mulai melepas anaknya untuk keluar rumah 6.      Keluarga mulai melepas anak sebagai dewasa (anak anaknya mulai meninggalkan rumah)

7.      Keluarga yang hanya terdiri dari orang tua saja / keluarga usia pertengahan (semua anak meninggalkan rumah)

8.      Keluarga lansia 8.      Keluarga Lansia

Tugas perkembangan keluarga sesuai tahap perkembangan :

Tahap perkembangan Tugas perkembangan (utama)
1.      Keluarga baru menikah
  • Membina hubungan intim yang memuaskan
  • Membina hubungan dengan keluarga lain, teman, dan kelompok social
  • Mendiskusikan rencana memiliki anak
2.      Keluarga dengan anak baru lahir
  • Mempersiapkan menjadi orang tua
  • Adaptasi dengan perubahan adanya anggota keluarga, interaksi keluarga, hubungan seksual, dan kegiatan
  • Mempertahankan hubungan dalamrangka memuaskan pasangannya
3.      Keluarga dengan anak usia pra-sekolah
  • Memenuhi kebutuhan anggota keluarga
  • Membantu anak untuk bersosialisasi
  • Beradaptasi dengan anak yang baru lahir, kebutuhan anak yang lain harus terpenugi
  • Mempertahankan hubungan yang sehat
  • Pembagian waktu untuk individu, pasangan, anak.
  • Pembagian tanggungjawab anggota keluarga
  • Merencanakan kegiatan dan waktu untuk menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak
4.      Keluarga dengan anak usia sekolah
  • Membantu sosialisasi anak
  • Mempertahankan keintiman pasangan
  • Memenuhi kebutuhan yang meningkat
5.      Keluarga dengan anak remaja
  • Memberikan kebebasan yang seimbang dan bertanggung jawab
  • Mempertahankan hubungan intim dalam keluarga
  • Mempertahankan komunikasi terbuka
  • Mempersiapkan perubahan system peran dan peraturan anggota keluarga
6.      Keluarga mulai melepas anak sebagai deasa
  • Memperluas jaringan keluarga
  • Mempertahankan keintiman pasangan
  • Membantu anak untuk mandiri sebagai keluarga baru di masyarakat
  • Penataan kembali peran orang tua dan kegiatan di rumah
7.      Keluarga usia pertengahan
  • Mempertahankan kesehatan individu dan pasangan
  • Mempertahankan hubungan yang serasi dan memuaskan dengan anak-anak dan sebaya
  • Meningkatkan kekaraban pasangan
8.      Keluarga usia tua
  • Mempertahankan suasana kehidupan rumah tangga yang saling menyenangkan pasangannya
  • Adaptasi dengan perubahan yang terjadi : kehilangan pasangan, kekuatan fisik, penghasilan keluarga.
  • Mempertahankan keakraban pasangan dan saling merawat
  • Melakukan life review masa lalu

 

4. STRUKTUR

Menurut Parad dan Caplan :

1.      Struktur peran keluarga

Menggambarkan peran masing-masing anggota keluarga dalam keluarga sendiri dan perannya di lingkungan masyarakat atau peran formal dan informal.

2.      Nilai atau norma keluarga

zMenggambarkan nilai dan norma yang dipelajari dan diyakini oleh keluarga khususnya yang berhubungan dengan kesehatan.

3.      Pola komunikasi keluarga

Menggambarkan bagaimana cara dan pola komunikasi ayah ibu, orang tua dengan anak, anak dengan anak, dan anggota keluarga lain (pada keluarga besar) dengan keluarga inti.

4.      Struktur kekuatan keluarga

Menggambarkan kemampuan anggota keluarga untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain untuk mengubah perilaku keluarga yang mendukung kesehatan.

Berdasarkan keempat elemen di atas, diasumsikan bahwa :

1.      Keluarga merupakan system social yang memiliki fungsi sendiri

2.   Keluarga merupakan system social yang mampu menyelesaikan masalah individu dan lingkungannya

3.   Keluarga merupakan suatu kelompok kecil yang dapat mempengaruhi kelompok lain

4.   Perilaku individu yang ditampakkan merupakan gambaran dari nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat

Di Indonesia keluarga dikelompokan menjadi 5 tahap :

1. Keluarga Pra-sejahtera

Keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal, kebutuhan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan, atau keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator keluarga sejahtera tahap I.

2. Keluarga Sejahtera Tahap I (KS I)

Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial psikologisnya, yaitu kebutuhan pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal, dan transportasi.

Indikator Keluarga Sejahtera Tahap I :

  • Melaksanakan ibadah
  • Makan 2x sehari atau lebih
  • Pakaian yang berbeda intuk berbagai keperluan
  • Lantai rumah bukan dari tanah
  • Kesehatan (anak sakit / pasangan usia subur ingin ber-KB dibawa ke sarana kesehatan)

3. Keluarga Sejahtera Tahap II (KS II)

Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal, dan dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangan, yaitu : kebutuhan menabung dan memperoleh informasi.

Indikator Keluarga Sejahtera Tahap II :

  • Indikator Keluarga Sejahtera Tahap I ( lihat diatas)
  • Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur
  • Makan daging / ikan / telur sebagai lauk pauk, paling kurang 1x dalam seminggu
  • Memperoleh pakaian baru dalam 1 tahun terakhir
  • Luas lantai tiap penghuni rumah 8 M2 perorang
  • Anggota keluarga sehat dalam 3 bulan terakhir
  • Keluarga yang berumur 15 tahun ke atas mempunyai penghasilan tetap
  • Bisa baca tulis latin bagi setiap anggota keluarga yg berumur 10 – 60 tahun
  • Anak usia sekolah (7-15 tahun) bersekolah
  • Anak hidup 2 atau lebih, keluarga masih PUS, saat ini memakai kontrasepsi

4. Keluarga Sejahtera Tahap III (KS III)

Keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologisnya, dan dapat memenuhi kebutuhan pengembangan, tetapi belum dapat memberikan kontribusi yang maksimal kepada masyarakat secara teratur dalam bentuk material dan keuangan, juga berperan serta aktif menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan dan lain-lain.

Indikator Keluarga Sejahtera Tahap III:

  • Indikator Keluarga Sejahtera Tahap II (lihat diatas)
  • Upaya keluarga untuk meningkatkan / menambah pengetahuan agama
  • Keluarga mempunyai tabungan
  • Makan bersama paling kurang sekali sehari
  • Ikut serta dalam kegiatan masyarakat
  • Rekreasi bersama/penyegaran paling kurang dalam 6 bulan
  • Memperoleh berita dari surat kabar, radio, televise, dan majalah
  • Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi

5. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus (KS III Plus)

Keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya, baik yang bersifat dasar, kebutuhan sosial psikologisnya, maupun pengembangan,serta telah mampu memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat.

Indikator Keluarga Sejahtera Tahap III Plus:

  • Indikator Keluarga Sejahtera Tahap III (lihat diatas)
  • Memberikan sumbangan secara teratur (waktu tertentu) dan sukarela dalam bentuk material kepada masyarakat
  • Aktif sebagai pengurus yayasan/panti

Berdasarkan intruksi Presiden Nomor 3 tahun 1996 tentang Pembangunan Keluarga Sejahtera Dalam Rangka Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan, Keluarga miskin adalah keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I (KS I).

Indikator Keluarga Miskin ;

  • Tidak bisa Makan 2x sehari atau lebih
  • Tidak bisa menyediakan daging / ikan / telur sebagai lauk pauk, paling kurang 1x dalam seminggu
  • Tidak bisa memiliki Pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan
  • Tidak bisa Memperoleh pakaian baru minimal 1 stel  setahun sekali
  • Luas lantai tiap penghuni rumah kurang dari 8 M2 perorang
  • Keluarga yang berumur 15 tahun ke atas tidak  mempunyai penghasilan tetap
  • Anak usia sekolah (7-15 tahun) tidak bersekolah
  • Lantai rumah dari tanah
  • Kesehatan (anak sakit / pasangan usia subur ingin ber-KB tidak bisa dibawa ke sarana kesehatan)

5. FUNGSI KELUARGA

a.      Fungsi keagamaan

a)      Membina norma/ajaran agama sebagai dasar dan tujuan hidup seluruh anggota keluarga

b)      Menerjemahkan ajaran/norma agama ke dalam tingkah laku hidup sehari-hari seluruh anggota keluarga

c)      Memberikan contoh konkret dalam hidup sehari-hari dalam pengamalan dari ajaran agama

d)      Melengkapi dan menambah proses kegiatan belajar anak tentnag keagamaan yang tidak atau kurang diperolehnya di sekolah dan dimasyarakat

e)      Membina rasa, sikap, dan praktik kehidupan keluarga beragama sebagai fondasi menuju Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera

b.      Fungsi budaya

a)      Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk meneruskan norma-norma dan budaya masyarakat dan bangsa yang ingin dipertahankan

b)      Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk menyaring norma dan budaya asing yang tidak sesuai

c)      Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga, anggotanya mencari pemecahan maslah dari berbagai pengaruh negative globalisasi dunia

d)      Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya dapat berperilaku yang baik/positif sesuai dengan norma bangsa Indonesia dalam menghadapi tantnagn globalisasi

e)      Membina budaya keluarga yang sesuai, selaras, seimabang dengan budaya masyarakat/ bangsa untuk menunjang terwujudnya norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera.

c. Fungsi cinta kasih

a)      Menumbuhkembangkan potensi kasih sayang yang telah ada antar anggota keluarga (suami-istri-anak) kedalam symbol-simbol nyata (ucapan, tingkah laku) secara optimal dan terus menerus

b)      Membina tingkah laku saling menyayangi baik antar- anggota keluarga maupun antar keluarga yang satu dengan lainnya secra kunatitatif dan kualitatif

c)      Membina praktik kecintaan terhadap kehidupan duniawi dan ukhrowi dalam keluarga secara serasi, selaras dan seimbang

d)      Membina rsaa, sikap dan praktik hidup keluarga yang mampu memberikan dan menerima kasih saynag sebagai pola hidup ideal menuju Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera

d.  Fungsi perlindungan

a)      Memenuhi kebutuhan rasa aman anggota keluarga baik dari rasa tidak aman yang timbul dari dalam maupun dari luar keluarga

b)      Membina keamanan keluarga baik fisik maupun psikis dari berbagai bentuk ancaman dan tantangan yang dating dari luar

c)      Membina dan menjadikan stabilitas dan keamanan keluarga sebgagai modal menuju Keluarga Kecil B ahagia Sejahtera

e.  Fungsi reproduksi

a)      Membina kehidupan keluarga sebagai wahan pendidikan reproduksi sehat baik bagi anggota keluarga maupun bagi keluarga sekitarnya

b)      Memberikn contoh pengamalan kaidah-kaidah pembentukan kleuraga dalam hal usia, pendewasaa fisik maupun mental

c)      Mengamalkan kaidah-kaidah reproduksi sehat, baik yang berkaitan dengan waktu melahirkan, jarak antara dua anak dan jumlah ideal anak yang diinginkan dalam keluarga’

d)      Mengembangkan kehidupan reproduksi sehat sebagai modal yang kondusif menuju Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera

f.     Fungsi sosialisasi

a)      Menyadari, merencanakan dan menciptakan lingkungan keluraga sebagai wahana pendidikan dan sosialisasi anak yang pertama dan utama

b)      Menyadari, merencanakan dan menciptakan kehidupan keluarga sebagai pusat tempat anak dapat mencari pemecahan drai konflik dan permaslahan yang dijumpainya baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat

c)      Membina proses pendididkan dan sosialisasi anak tentnag hal-hal yang diperlukannya untuk meningktakan kematangan dan kedewasaan (fisik maupun mental), yang tidak/kurang diberikan oleh lingkungan sekolah maupun masyarakat

d)      Membina proses pendidikan dan sosialisasi yang terjadi dalam keluarga sehingga tidak saja dapat bermanfaat positif bagi anak, tetapi juga bagi orang tua dalam rangka perkembngan dan kematngan hidup bersama menuju Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera

g.   Fungsi ekonomi

a)      Melakukan kegiatan ekonomi baik diluar maupun di dalam lingkungan kleuarga dalam rangka menopang kelangsungan dan perkembangan kehidupan kleuarga

b)      Mengelola ekonomi keluarga sehingga terjadi kesrasian, keselarasan, keseimbangan antar apemasukan dan pengeluaran keluarga

c)      Mengatur waktu sehingga kegitan orang tua di luar rumah dan perhtiannya trehdap anggota kleuarga berjalan secara serasi, selaras dan seimbang

d)      Membina kegiatan dan hasil ekonomi keluarga sebagai modak untuk mewujudkan Keluarga Kecil Bhagia Sejahtera

h.                           Fungsi pelestarian lingkungan

a)      Membina kesdaran, sikap dan praktik pelestraian lingkunga iter keluarga

b)      Membina kesaradar, sikap dan praktik pel;estarian lingkungan ekstern keluarga

c)      Membina ksedaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan yang serasi, selaras seimbngan antar alingkungan keuarga dengan lingkungan hidup masyarakat sekitarnya

d)      Membina kesadaran, sikap, praktik pelestarian lingkungan hidup sebgai pola hidup keluarga menuju Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera

6. TUGAS KELUARGA DI BIDANG KESEHATAN

a.    Mengenal masalah kesehatan keluarga
b.   Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga
c.    Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan
d.    Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga
e.     Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga

7. KELUARGA SEBAGAI SYSTEM

Alasan keluarga disebut sebagai system :

a.   Keluarga mempunyai subsistem; snggota, fungsi, peran aturan, budaya dan lainnya yang dipelajari dan dipertahankan dalam kehidupan kleuarga

b.   Terdapat saling berhubungan dan ketergantungan antar subsistem

c.    Merupakan unit (bagian ) terkecil dari masyarakat yang dapat mempengaruhi supra sistemnya (masyarakat)

Keluarga sebagai system mempunyai karakteristik dasar, yaitu :

a.   Keluarga sebagai system terbuka

Suatu system yamg mempunyai kesemapatan dan mau menerima atau memperhatikan lingkungan (masyarakat) sekitarnya

b.   Keluarga sebagai system tertutup

Suatu system yang kurang mempunyai kesempatan, kurang mau menerima atau member perhatian kepada lingkungan (masyarakat) sekitarnya.

Karakteristik Keluarga Sebagai Sistem :

Sistem Terbuka Sistem Tertutup
Pola Komunikasi Keluarga Langsung, jelas, spesifik, tulus, jujur, tanpa hambatan. Tidak langsung, tidak jelas, tidak spesifik, tidak selaras, sering menyalahkan, kacau.
Aturan Keluarga
  • Hasil musyawarah, berubah sesuai kebutuhan, tak tertinggal zaman.
  • Bebas mengeluarkan pendapat
  • Tanpa musyawarah, mengikat, tidak sesuai kebutuhan dan perkembangan
  • Pendapat terbatas
Perilaku Anggota Keluarga
  • Sesuai dengan kemampuan keluarga, kesiapan, berkembang sesuai kondisi.
  • Harga diri, percaya diri meningkat, mampu mengembangkan diri.
  • Sikap melawan, kacau, tidak siap, tidak berkembang
  • Kurang percaya diri, kurang mendapat dukungan untuk mengembangkan diri.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Kinerja

2.1.1 Pengertian

Notoadmodjo (2009) mendefinisikan kinerja adalah apa yang dapat dikerjakan oleh seseorang sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dari batasan-batasan yang ada dapat dirumuskan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dapat ditampilkan atau penampilan kerja seorang karyawan. Dengan dimikian kinerja seorang karyawan dapat diukur dari hasil kerja, hasil tugas, atau hasil kegiatan dalam kurun waktu tertentu. Menurut Mangkunegara (2009: 67) Kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (Prestasi kerja atau prestasi sesunguhnya yang dicapai oleh seseorang) dan kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kwantitas yang di capai seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Kinerja merupakan penampilan hasil kerja pegawai baik secara kuantitas maupun kualitas (cokroaminoto, 2007). Sedangkan menurut Robbins (2006) kinerja merupakan hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu didalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target/sasaran atau kriteria. Kemudian menurut Hasibuan (2001) menegmukakan kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu.

Berdasarkan hasil pengertian diatas, penulis menarik kesimpulan bahwa kinerja merupakan kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja (output) individu maupun kelompok dalam suatu aktivitas tertentu yang diakibatkan oleh kemampuan yang diperoleh dari proses belajar serta keinginan untuk berprestasi.

 

2.1.2 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi  kinerja perawat.

Menurut Nursalam 2002, faktor yang mempengaruhi perkembangan perawat secara profesional adalah sebagai berikut:

1.  Antheical terhadap pakerjaan keperawatan.

Karena rendahnya dasar pendidikan profesi dan belum dilaksanakanya pendidikan keperawatan secara profesional, perawat lebih cenderung untuk melaksanakan perannya secara rutinitas dan menunggu perintah dari dokter.

2.  Rendahnya rasa percaya diri

Perawat belum mampu menyediakan dirinya sebagai sumber informasi bagi klien, rendahnya rasa percaya diri disebabkan oleh karena rendahnya pendidikan, rendahnya pengetauan, dan tehnologi-tehnologi yang memadai.

3.  Kurangnya pemahaman dan sikap untuk melaksanakan riset keperawatan.

Pengetahuan dan keterampilan perawat terhadap riset masih sangat rendah. Hal ini ditunjukan dengan rendahnya hasil riset di bandingkan dengan profesi yang lain.

4.  Rendahnya standar Gaji

Bagi perawat yang bekerja pada institusi pemerintah di dalam negeri dirasakan masih rendahnya bila dibandingkan dengan negeri lain. Rendahnya gaji perawat berdampak pada asuhan keperawatan yang profesional.

5.  Sangat minimya perawat yang menduduki jabatan struktural di Institusi kesehatan.

Masalah ini sangat mempengaruhi dalam perkembangan profesi keperawatan, karena sistim sangat berpengaruh terhadap terselenggaranya pelayanan yang baik.

Sedangkan menurut Mangkunegara  (2009:67) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja itu antara lain:

1)    Faktor kemampuan

Secara psikologis  kemampuan (ability) pegawai terdiri dari  kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan  realita (pendidikan). Oleh karena itu pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahlianya.

2)    Faktor motivasi

Motivasi terbentuk dari sikap (attiude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situasion) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan  diri pegawai terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja). Sikap mental merupakan  kondisi mental yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai potensi kerja secara maksimal. David C. Mc.Cleland (1997) seperti dikutip oleh Mangkunegara (2001:68), berpendapat bahwa “Ada hubungan yang positif antara motif berprestasi dengan pencapaian kerja”. Motif berprestasi adalah suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu kegiatan atau tugas dengan sebaik baiknya agar mampu mencapai prestasi  kerja (kinerja) dengan predikat tepuji. Selanjutnya Mc. Clelland, mengemukakan 6 karateristik dari seseorang yang memiliki motif yang tinggi yaitu :

1)  Memiliki  tanggung jawab yang tinggi

2)  Berani mengambil resiko

3)  Memiliki tujuan yang realistis

4)  Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk meralisasi tujuan

5)  Memanfaatkan umpan balik yang kongkrit dalam seluruh kegiatan kerja yang dilakukan

6)  Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan

Menurut Mangkunegara 2000 yang mencuplik dari Mc Cellend seorang yang mempunyai kinerja maksimal jika memilliki motif yang tinggi, motif yang dimiliki seorang pegawai harus ada dalam diri sendiri dan lingkungan kerja.

Dan menurut Gibson (1997) yang dikutip dari buku Notoadmodjo (2009:124) dalam Buku Pengembangan Sumber Daya Manusia, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan kinerja adalah :

1)    Faktor individu (internal) meliputi: pemahaman terhadap pekerjaannya, pengalaman kerja, latar belakang keluarga, tingkat sosial ekonomi, dan faktor demografi (umur, jenis kelamin, etnis, dan sebagainya)

2)    Faktor organisasi (eksternal) meliputi: Sumber daya manusia, kepemimpinan, desain pekerjaan, struktur organisasi

3)    Faktor psikologis meliputi : persepsi terhadap pekerjaan, sikap terhadap pekerjaan, Motivasi dari dalam diri individu masing-masing kepribadian.

2.1.3 Penilaian kinerja perawat

Penilaian kerja merupakan alat yang paling dipercaya oleh manejer perawat dalam mengontrol sumber daya manusia yang produktivitas.  Proses penilain kinerja dapat digunakan secara efektif dalam mengarahkan perilaku pegawai dalam rangka menghasilkan jasa keperawatan dalam kuwalitas dan volume yang tinggi (swanbrung, 1987 dikutip oleh Nursalam,2000:307). dan sedangkan menurut Sikula (1981: 205) yang kutip oleh Mangkunegara (2009)  “ penilaian kinerja merupakan evaluasi yang sistimatis dari pekerjaan pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan ”.

2.1.4 Tujuan penilaian kinerja

Tujuan penilaian kinerja secara umum adalah untuk menghasilkan informasi yang akurat dan sahih berkenan dengan perilaku dan kinerja anggota organisasi. Dalam pendekatan pengembangan seorang pemimpin mencoba untuk meningkatkan kinerja seorang individu dimasa mendatang. Aspek pengembangan dari penilaian kinerja mendorong pertumbuhan pegawai. Dengan mengkombinasikan baik aspek evaluasi maupun aspek pengembangan, penilaian kinerja haruslah (1) menyediakan basis bagi tindakan-tindakan personalia; dan (2) meningkatkan pendayagunaan sumberdaya manusia melalui penempatan pekerjaan yang lebih baik dan spesifikasi kebutuhan-kebutuhan latihan (waalker, dalam hasibuan, 2003:132).

Penilaian kinerja pegawai merupakan salah satu fungsi penting manajemen. Ada beberapa alasan perlunya dikembangkan sistem penilaian kinerja yang lebih efektif (As’ad, 2003):

a.    Merasa tidak puas atau kondisi/kinerja saat ini

b.    Kejelasan akan target atau perilaku yang harus dicapai

c.    Kejelasan tentang bagaimana caranya untuk mencapai target dan merubah perilaku yang diharapkan

d.    Penghargaan yang akan didapat apabila telah memperbaiki kinerja/mencapai target dan perilakunya.

 

2.1.5 Prisip-prinsip penilaian

Menurut Gilles (1996), untuk mengevaluasi bawahan secara tepat dan adil, maka menejer sebaiknya mengunakan prinsip- prinsip tertentu.

1.   Evaluasi pekerjaan seharusnya didasarkan pada standart pelaksanan kerja orientasi tingkah laku untuk posisi yang ditempati (Rommber, 1986 dikutip gilles 1996). karena diskripsi kerja dan standart  dan pelaksanan kerja dilaksanakan ke pegawai selama orientasi sebagai tujuan yang harus dilaksanakan, pelaksanan kerja seharusnya dievaluasi berkenaan dengan sasaran yang sama.

2.   Sampai tingkah laku perawat yang persentatif sebaiknya diamati dalam rangka evaluasi pelaksanaan kerjanya. Penelitian harus diberikan untuk mengevaluasi tingkah laku umum atau tingkah laku konsistennya serta guna menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan.

3.   Perawat sebaiknya diberi salinan kerjanya, standart pelaksanan kerja, dan bentuk evaluasi untuk peninjauan ulang sebelum pertemuan evaluasi sehinga sebaiknya perawat maupun supervisior dapat mendiskusikan evaluasi dari kerangka yang sama.

4.   Didalam melaksanakan penulisan pelaksanan penilaian kerja pegawai, menejer sebaiknya menunjukkan segi-segi dimana pelaksananya kerja itu bisa memuaskan dan perbaikan apa yang diperlukan. Supervisior sebaiknya merujuk pada contoh kasus-kasus yang mengenai tingkah laku yang memuaskan maupun yang tidak memuaskan supaya dapat menjelaskan dasar-dasar komentar yang bersifat evaluatif.

5.   Jika diperlukan menejer menjelaskan area mana yang diprioritaskan seiring dengan usaha perawat untuk meningkatkan pelaksanan kerja.

6.   Pertemuan evaluasi sebaiknya dilakukan pada waktu yang cocok bagi perawat dan menejer, diskusi evaluasi sebaiknya dilakukan dalam waktu yang cocok untuk keduanya.

Menurut Notoatmodjo (2003,143) dalam buku pengembangan sumber daya manusia, prinsip penilaian kerja antara lain:

1.  Penilaian harus mempunyai hubungan dengan pekerjaan (job realated), artinya system penilaian harus benar-benar menilai prilaku atau kinerja.

2.  Adanya standart pelaksanaan kerja (performance standart): Standart pelaksanaan adalah ukuran yang dipakai untuk menilai  prestasi  kerja .

3.  Sistim penilaian yang praktis mudah dipahami dan mudah dimengerti dan  mudah digunakan baik oleh penilai maupun karyawan.

 

2.1.6 Indikator pengukuran kinerja

Untuk mengetahui tingkat keberhasilan kinerja pegawai, maka perlu ada pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja ini digunakan untuk penilaian atas keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan/program/kebijakan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi organisasi. Pengukuran kinerja tersebut mencakup indikator-indikator pencapaian kinerja. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis mencoba memaparkan berbagai pendapat tentang indikator kinerja. Dalam keputusan LAN No.598 tahun 1999 dinyatakan bahwa indikator yang dipergunakan untuk mengevaluasi kinerja suatu kegiatan/program/proyek yang belum selesai dilaksanakan adalah indikator input dan output. Input meliputi dana, kepuasan, SDM, informasi, kebijakan/perundang-undangan dan sebagainya, sedangkat output adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik.

Menurut Riduan (2007) kinerja adalah hasil karya atau hasil kerja seseorang yang dicapai berdasarkan tingkat kemampuan dan motivasi yang tinggi yang terdiri dari kualitas kerja, kuatitas kerja, konsistensi pegawai, dan sikap pegawai itu sendiri. Selanjutnya menurut Robbins (1997) hakekat penilaian kinerja individu adalah hasil kerja yang optimal yang mencakup: (1) perilaku bekerja (Daya tahan, Pelayanan terhadap pasien, Inisiatif dan proaktif, Kemandirian, dan Kehadiran); (2) cara berfikir (Kesadaran dan tanggung jawab, Kedisiplinan dan Keingginan dan perhatian pada pendidikan dan pelatihan); (3) perilaku sosial (Kesiapan emosi, kerjasama dan Komunikasi). Sedangkan dalam penilaian standar kualitas pelayanan keperawatan pada klien digunakan standar praktik keperawatan yang merupakan pedoman bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatn. Standar asuhan keperawatan mengacu dalam tahapan proses pendokumentasian keperawatan yang meliputi: pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi (PPNI,2000)

Sehubungan dengan hal tersebut maka ada 4 indikator yang akan diteliti yaitu meliputi (1) teknisi pendokumentasian (pengkajian, intervensi, implementasi, dan evaluasi; (2) perilaku bekerja (Daya tahan, Pelayanan terhadap pasien, Inisiatif dan proaktif, Kemandirian, dan Kehadiran); (3) cara berfikir (Kesadaran dan tanggung jawab, Kedisiplinan dan Keingginan dan perhatian pada pendidikan dan pelatihan); (4) perilaku sosial (Kesiapan emosi, kerjasama dan Komunikasi)

 

2.1.7 Alat ukur

Menurut  (Nursalam, 2002, 310) berbagai macam alat ukur telah dalam penelitian pelaksanan kerja karyawan keperawatan. Agar efektif, alat evaluasi sebaiknya dirancang untuk mengurangi bias, meningkatkan obyektifitas serta menjamin keabsahan dan ketahanan. Setiap supervisor menunjukan beberapa tingkatan bias dalam evaluasi kerja bawahan. Beberapa supervisior biasanya meremehkan pelaksanan kerja perawat asing. Beberapa diantaranya menaksir terlalu tinggi pengetauan dan ketrampilan dari perawat yang menarik, termasuk juga dalam kerapian dan kesopanan.

Obyektivitas, yaitu kemampuan untuk mengalihkan diri sendiri secara emosional dari suatu keadaan untuk mempertimbangkan fakta tanpa adanya penyimpangan oleh perasaan pribadi.

Keabsahan diartikan sebagai tingkatan alat mengukur pokok isi serta yang diukur. Alat ukur yang digunakan dalam menilai pelaksanan kerja dan tugas-tugas yang ada didalam diskripsi kerja pada perawat perlu dirinci satu demi satu dan dilaksanakan secara akurat.

Jenis alat evaluasi pelaksanan kerja perawat yang umumnya digunakan yaitu: laporan bebas, cheklis pelaksanan kerja (Hendarson, 1984 yang dikutip oleh Nursalam, 2002).

1.  Laporan tanggapan bebas

Pemimpin atau atasan diminta memberi komentar tentang kuwalitas pelaksanan kerja bawahan dalam jangka waktu tertentu. Karena tidak adanya petunjuk yang harus dievaluasi, sehinga penilain cenderung menjadi tidak syah. Alat ini kurang obyektif karena mengabaikan sesuatu yang penting, dimana penilaian hanya berfokus pada salah satu aspek.

 

2.  Cheklis pelaksanan kerja

Cheklist terdiri dari daftar kriteria pelasanaan kerja untuk tugas yang paling penting dalam diskripsi kerja karyawan, dengan lampiran formulir dimana peneliti dapat menyatakan apakah bawahan dapat bertingah laku seperti yang diiginkan atau tidak.

Metode penilaian prestasi kerja pada umumnya dikelompokka menjadi dua macam, yakni penilaian yang berorientasikan waktu yang lalu dan penilaian yang berorientasikan waktu yang akan datang. (Notoatmodjo, 2009:136)

1.  Metode penilaian prestasi kerja yang berorientasikan waktu lalu artinya penilaian prestasi kerja seorang karyawan itu dinilai berdasarkan hasil yang telah dicapai oleh karyawan selama ini. Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal perlakuan terhadap kerja yang telah terjadi, dan sampai derajat tertentu dapat diukur. Namun demikian, metode ini juga mempunyai kelemahan, yakni prestasi kerja pada waktu yang lalu tidak dapat diubah tetapi dengan mengevaluasi prestasi kerja yang lalu para karyawan, memperoleh umpan balik terhadap pekerjaan mereka. Selanjutnya umpan balik tersebut dapat dimanfaatkan untuk perbaikan prestasi mereka.

Teknik-tekhnik penilaian ini antara lain mencakup:

a.    Rating scale. Dalam hal ini penilain secara subjektive terhadap prestasi kerja karyawan dengan skala tertentu dari yang terendah samapai dengan tertinggi. Penilai memberikan tanda pada skala yang sudah ada tersebut dengan cara membandingkan hasil antara pekerjaan karyawan dengan kriteria yang telah ditentukan berdasarkan justifikasi penilai yang bersangkutan.

b.    Checklist. Dalam hal ini penilai hanya memilih pernyataan-pernyataan yang sudah tersedia yang menggambarkan prestasi kerja dan karakteristik karyawan yang dinilai).

c.    Metode peristiwa kritis. Penilaian ini didasarkan kepada catatan dari pimpinan atau penilai karyawan bersangkutan.

d.    Metode peninjauan lapangan. Penilaian ini dilakukan dengan cara para penilai atau pimpinan melakukan terjun langsung kelapangan untuk menilai prestasi kerja karyawan.

e.    Tes prestasi kerja. Penilaian ini dilakukan dengan mengadakan tes tertulis pada karyawan yang akan dinilai. Karena apa yang ditanyakan (tes) dan jawaban dari karyawan ini dalam bentuk tertulis, dan tidak mencerminkan langsung prestasi seseorang, metode ini biasa dinamakan metode secara tidak langsung.

2. Metode penilaian prestasi kerja yang berorientasikan waktu yang akan datang artinya memusatkan prestasi kerja saat ini serta penetapan sasaran prestasi kerja dimasa yang akan datang. Tekhnik yang dapat digunakan, yaitu :

a.    Penilain diri. Metode ini menekankan bahwa penilaian prestasi kerja dinilai oleh karyawan itu sendiri yang bertujuan untuk mengembangkan diri karyawan dalam rangka pengembangan organisasi.

b.    Pendekatan. Metode ini ditentukan bersama-sama antara penilai dengan karyawan yang akan dinilai. Mereka bersama-sama menentukan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran pelaksanaan kerja diwaktu yang akan datang.

c.    Penilaian psikologis. Metode ini dilakukan dengan mengadakan wawancara mendalam, diskusi atau tes-tes psikologi terhadap karyawan yang akan dinilai.

d.    Tekhnik pusat penilaian. Pusat ini merupakan suatu organisasi yang mengembangkan sistem penilaian yang baku yang digunakan untuk menilai para tenaga kerja, hasil penilaian pusat/unit ini sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi kemampuan manajemen diwaktu yang akan datang.

 

 

2.1.8 Manfaat penilain kinerja (Prestasi kerja)

Notoadmodjo, (2009: 134) menyebutkan manfaat penilaian prestasi kerja sebagai berikut:

1)  Peningkatan prestasi kerja. Dengan adanya penilaian baik manajer maupun karyawan memperoleh umpan balik dan mereka dapat memperbaiki pekerjaan mereka.

2)  Kesempatan kerja yang adil. Dengan adanya penilaian kerja yang akurat akan menjamin setiap karyawan memperoleh kesempatan menempati posisi pekerjaan sesuai dengan kemampuannya.

3)  Kebutuhan-kebutuhan pelatihan pengembangan. Melalui penilaian prestasi kerja akan dideteksi karyawan-karyawan yang kemampuannya rendah, dan kemudian memungkinkan adanya program pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mereka.

4)  Penyesuaian kompensasi. Penilaian prestasi kerja dapat membantu para menejer untuk mengambil keputusan dalam menentukan perbaikan kompensasi, gaji, bonus, dan sebagainya.

5)  Keputusan-keputusan promosi dan demosi. Hasil penilaian prestasi kerja terhadap karyawan dapat digunakan untuk mengambil keputusan untuk mempromosikan karyawan yang berprestasi baik dan demosi untuk karyawan yang berprestasi kurang baik atau jelek.

6)  Kesalahan-kesalahan desain pekerjaan. Hasil penilaian prestasi kerja dapat digunakan untuk menilai desain kerja. Artinya hasil penilaian prestasi kerja ini dapat membantu mendiagnosis kesalahan-kesalahan desain kerja.

7)  Penyimpangan-penyimpangan proses rekruitmen dan seleksi. Penilaian prestasi kerja dapat digunakan untuk menilai proses rekruitmen dan seleksi karyawan yang telah lalu.prestasi kerja yang sangat rendah bagi karyawan baru adalah mencerminkan adanya penyimpangan-penyimpangan proses rekruitmen dan seleksi.

Menurut Nursalam (2009) manfaat penilaian kerja dapat dijabarkan menjadi 6, yaitu ;

2)    Meningkatkan prestasi kerja staf, baik secara individu atau kelompok, dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dalam kerangka pencapaian tujuan pelayanan rumah sakit

3)    Peningkatan yang terjadi pada prestasi stab secara perorangan pada gilirannya akan memengaruhi atau mendorong SDM secara keseluruhannya.

4)    Meransang minat dalam pengembangan pribadi dengan tujuan meningkatkan hasil karya dan prestasi, dengan cara memberikan umpan balik kepada mereka tentang prestasinya.

5)    Membangun RS untuk dapat menyusun program pengembangan dan pelatihan staf yang lebih tepat guna, sehingga RS akan mempunyai tenaga yang cakap dan tampil untuk pengembangan pelayanan keperawatan dimasa depan.

6)    Menyediakan alat dan sarana untuk membandingkan prestasi kerja dengan meningkatkan gaji atau sistem imbalan yang baik.

7)    Memberikan kesempatan pada staf untuk mengeluarkan perasaannya tentang pekerjaannya, atau hal lain yang ada kaitannya melalui jalur komunikasi dan dialog, sehingga dapat mempererat hubungan antara atasan dan bawahan.

 

2.1.9 Standar Penilaian Kinerja Perawat

Dalam menilai kualitas pelayanan keperawatan kepada pasien digunakan standar asuhan keperawatan  yang merupakan pedoman bagi perawat dalam melakukan asuhan keperawatan. Standart asuhan keperawatan telah disusun oleh tim departemen kesehatan RI (2000) dengan tahapan proses keperawatan yang  meliputi: (1)Pengkajian, (2)Diagnosa keperawatan, (3)Perencanaan, (4)Implementasi, (5)Evaluasi dan, (6)Dokumentasi. :

 

1. Standart I : Pengkajian Keperawatan

Asuhan keperawatan memerlukan data yang lengkap dan dikumpulkan secara terus menerus, tentang keadaan untuk menentukan kebutuhan asuhan keperawatan. Data kesehatan harus bermanfaat bagi semuan anggota tim kesehatan (Depkes RI, 1997).

Komponen Pengkajian Keperawatan meliputi :

A)   Pengumpulan Data :

Kriteria :

(1)  Menggunakan format yang baku.

(2)  Sistimatis.

(3)  Diisi sesuai dengan item yang tersedia.

(4)  Actual (baru).

(5)  Absah (valid).

B)   Penglompokan Data

Kriteria:

(1)  Data biologis.

(2)  Data Psikologis.

(3)  Data sosial

(4)  Data spiritual.

C)   Perumusan Masalah

Kriteria :

(1)  Kesenjangan antara status kesehatan dan norma dan pola fungsi kehidupan

(2)  Perumusan masalah ditunjang oleh data yang telah dikumpulkan

 

2. Standar II : Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan dirumuskan berdasarkan data , status kesehatan pasien, dianalisis dan dibandingkan dengan norma fungsi kehidupan pasien.

Kriteria:

a)  Diagnosa keperawatan dihubungkan dengan penyebab kesenjangan dan pemenuhan kebutuhan pasien

b)  Dibuat sesuai dengan wewenang perawat

c)  Komponenya terdiri dari masalah, penyebab dan gejala (PES) atau terdiri dari masalah dan penyebab (PE).

d)  Bersifat actual apabila masalah kesehatan pasien sudah nyata terjadi. Bersifat potensial apabila msalah kesehatan pasien, kemungkinan besar akan terjadi

e)  Dapat ditanggulangi oleh perawat.

 

 

3. Standar III : Perencanaan keperawatan

Perencanaan keperawatan disusun berdasarkan diagnosa keperawtan.

 

Komponen perencanaan meliputi :

a)  Prioritas masalah

Kriteria :

(1)   Masalah-masalah yang mengancam kehidupan merupakan prioritas utama

(2)   Masalah-masalah yang mengancam kesehatan seseorang adalahprioritas kedua.

(3)   Masalah-masalah yang mempengarui perilaku merupakan prioritas ketiga.

b)  Tujuan asuhan keperawatan

Kriteria;

(1)  Spesifik

(2)  Bisa diukur

(3)  Realistik

(4)  Bisa dicapai

(5)  Ada batas waktu

c)    Rencana Tindakan

(1)   Disusun berdasarkan asuhan keperawatan

(2)   Melibatkan pasien dan keluarga

(3)   Mempertimbangkan latar belakang budaya pasin/keluarga

(4)   Menentukan alternatif tindakan

(5)   Mempertimbangkan kebijakan dan peraturan yang berlaku, lingkungan, sumber daya fasilitas yang ada.

(6)   Menjamin rasa aman dan nyaman

(7)   Kalimat instruksi, ringkas, tegas dan bahasanya mudah dimengerti

 

4. Standar IV: Intervensi keperawatan

Intervensi keperawatan adalah pelaksanan rencana tindakan yang ditentukan dengan maksud agar kebutuhan pasien terpenuhi secara maksimal yang mencakup aspek peningkatan, pencegahaan, pemeliharaan, serta pemulihan kesehatan dengan mengikutsertakan pasien da keluarganya.

Kriteria :

a)    Dilaksanakan sesuai rencana keperawatan

b)    Menyangkut keadaan bio, psiko-sosio spiritual pasien.

c)    Menjelaskan setiap tindakan keperawatan yang akan dilakukan kepada pasien/keluarga

d)    Sesuai dangan waktu yang ditetentukan

e)    Menggunakan sumber daya yang ada

f)     Menetapkan sistim aseptic dan antiseptic

g)    Menerapkan aman, nyaman, ekonomis, privasi dan mengutamakan pasien.

h)   Melaksanakan perbaikan tindakan sesuai dangan respon pasien

i)     Merujuk dengan segera bila ada masalah yang telah mengancam keselamatan pasien

j)      Mencatat semua tindakan yang telah dilakukan

k)    Merapikan pasien, alat, setelah melakukan tindakan

l)     Melaksanakan tindakan keperawatan berpedoman pada prosedur teknis yang telah ditentuknan

 

5. Standar  V : Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan dilakukan secara periodik, sistimatis dan berencana untuk menilai perkembangan pasien.

Kriteria :

a)    Setiap tindakan keperawatan, dilakukan evaluasi

b)    Evaluasi hasil mengunakan yang ada pada rumusan tujuan

c)    Hasil evaluasi segera dicatat dan dikomonikasikan

d)    Evaluasi melibatkan pasien, keluarga dan tim kesehatan lainya

e)    Evaluasi dilakukan sesuai dangan standar

 

 

6. Standar VI : Catatan Asuhan Keperawatan

Catatan asuhan keperawatan dicatat secara individu

Kriteria :

a)    Dilakukan pasien selama nginap dan rawat jalan

b)    Dapat digunakan sebagai bahan informasi, komonikasi dan laporan

c)    Dilakukan segera setelah tindakan dilaksanakan

d)    Penulisannya harus jelas dan ringkas serta menggunakan istilah yang baku

e)    Sesuai dengan proses pelaksanaan  keperawatan

f)     Setiap pencatatan harus mencantumkan inisial/paraf/nama parawat yang melaksanakan tindakan dan waktunya.

g)    Mengunakan formulir yang baku

h)   Disimpan sesuai dengan peraturan.

Menurut Gilles (1996), bahwa standar penilaian kinerja perawat juga meliputi :

a)   Pengkajian

Pengkajian dilakukan secara sistematis, menyeluruh, akurat, singakat dan berkesinambungan saat pasien masuk rumah sakit. Hasil pengkajian dicatat didalam buku status pasien dan dibuat pioritas masalah keperawatan.

b)     Perencanaan

Rencana perawatan yang buat harus mengacu pada kebutuhan pasien, rencana akan sangat baik jika dibuat secara kerja sama dengan tim kesehatan lainnya dan dijadwalkan dengan jelas waktu pelaksanaannya.

c)     Implementasi

Dalam melaksanakan rencana perawatan dibutuhkan lingkungan kondusif. Perawat harus mampu menghormati martabat dan rahasia pasien, mampu memberikan pendidikan kesehatan pada pasien, menyesuaikan diri dengan beban kerja yang ada serta mampu bekerja dengan tim kesehatan yang lain.

d)     Evaluasi

Evaluasi dilakukan terus menerus dan harus dibandingkan dengan standar perawatan.

e)     Harapan institusi dan profesi

Untuk meningkatkan kinerja dibutuhkan adanya kebijakan, visi, dan misi rumah sakit yang jelas, juga kemauan yang tinggi dari perawat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan melalui jenjang pendidikan berkelanjutan, mengembangkan diri dengan mengikuti penyuluhan, seminar, lokakarya yang berhubungan dengan profesi keperawatan. Untuk menjadi perawat yang profesional diperlukan adanya organisasi keperawatan yang dapat menampung dan mengkoordinir kegiatan keperawatan. Semua tindakan yang dilakukan harus sesuai dengan uraian tugas, bersedia berbagi pengetahuan dengan rekan sekerja dan membantu pelaksanaan orientasi perawat baru, berperilaku, berpikir dan berinteraksi sosial dengan baik.

 

2.2 Tinjauan Umum Tentang Perawat

2.2.1 Konsep Perawat

Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang menurut UU  No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, Pasal 50, meyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggaraka atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan.

Berdasarkan peraturan pemerintah No.23 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan, pasal , tertulis menyatakan bahwa yang dimaksud tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memilliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Pasal 2, Tenaga kesehatan terdiri dari : tenaga kesehatan, keperawatan, kefarmasian, kesehatan masyarakat, kedokteran gigi, keterampilan fisik dan keteknisan medis, tenaga perawat meliputi perawat dan bidan.

Menurut PerMenKes No. 647 tahun 2000, perawat adalah seseoarang yang telah lulus pendidikan baik didalam dan luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

2.2.2 Peran Perawat

Peran perawat adalah tingkah laku yang diharapkan oleh seseorang terhadap orang lain untuk berproses dalam system (Zaidin A, 2002, Sadikin,2003). Terdapat banyak paparan tentang peran perawat sebagai tenaga profesi, secara umum berperan sebagai perawat pelaksana, pengelolah, pendidik, dan peneliti.

Peran perawat menurut para sosisologi Johnson & Martin, dikutip oleh Sadikin, (2003) adalah : (1) Peran terapeutik, yaitu kegiatan yang ditujukan langsung pada pencegahan dan pengobatan penyakit, (2) Expressiver Mother Substitute Role, yaitu kegiatan yang bersifat langsung dalam menciptakan lingkungan dimana pasien merasa aman dan untuk menghilangkan ketegangan dalam kelompok pelayanan (dokter, perawat, pasien dan lain-lain).

Berdasarkan standar Depkes (2000), Peran perawat sebagai : (1) Pelaksana pelayanan keperawatan , yaitu bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat, (2) Pengelolah pelayanan keperawatan, yaitu perawat bertanggung jawab dalam pengelolaan pelayanan keperawatan baik untuk individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, dan (3) sebagai pendidik dalam ilmu keperawatan, yaitu perawat bertanggung jawab dalam hal pendidikan dan pengajaran ilmu keperawatan, dan tenaga kesehatan lainnya, serta (4) peneliti dan pengembangan  ilmu keperawatan, Yaitu perawat melakukan penelitan keperawatan untuk mengembangkan ilmu keperawatan dan meningkatkan praktek profesi keperawatan, khususnya pelayanan keperawatan, pendidikan keperawatan dan administrasi keperawatan.

Menurut Ismani (2001) aktivitas keperawatan mencakup perannya sebagai pelaksana, pengelola, pendidik, dan peneliti dalam bidang keperawatan

1.    Peran sebagai pelaksana

  • Pemberi rasa nyaman yang berusaha untuk memberikan keterangan dan kenyamanan kepada pasien
  • Pelindung yang berusaha untuk melindungi kepentingan pasien agar dapat menggunakan hak-haknya seoptimal mungkin.
  • Komunikator yang berperan dalam memberikan penjelasan dengan berkomunikasi kepada pasien dalam upaya meningkatkan kesehatannya.
  • Mediator yang memberikan kemudahan kepada pasien untuk mengatakan keluhannya pada tim kesehatan.
  • Rehabilitator yang bertugaas mengembalikan kepercayaan terhadap dirinya, baik semasa di rawat di RS maupun setelah pulang

2.    Peran sebagai pendidik atau penyuluh

Memberikan pemahaman kepada pasien, keluarga atau masyarakat yang ada dilingkup tanggungjwabnya tentang kesehatan dan keperawatan yang dibutuhkan.

3.    Peran sebagai pengelolah

Dapat mengelolah asuhan keperawatan pada ruang lingkup tanggung jawabnya, termasuk membuat catatan dan laporan pasien.

4.    Peran sebagai peneliti

Mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip-prinsip dan pendekatan untuk meningkatkan mutu asuhan keperawatan.

 

2.2.3 Fungsi Perawat

Fungsi perawat dalam melakukan pengkajian pada individu sehat maupun sakit dimana segala aktifitas yang dilakukan berguna untuk pemulihan kesehatan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, aktifitas ini di lakukan dengan berbagai cara untuk mengembalikan kemandirian pasien secepat mungkin dalam bentuk proses keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian, identifikasi masalah (diagnosa keperawatan), perencanaan, implementasi dan evaluasi.

Menurut Nursalam (2009) peran perawat dimasa depan harus berkembang seiring dengan perkembangan iptek dan tuntutan kebutuhan masyarakat, sehingga perawat dituntut mampu menjawab dan mengantisipasi terhadap dampak dari perubahan. Sebagai perawat profesional, maka peran yang diemban adalah CARE yang meliputi: (1) Comunication, ciri khas perawat profesional dimasa depan dalam memberikan pelayanan keperawatan harus dapat berkomunikasi secara lengkap, adekuat, dan cepat; (2) Activity, prinsip melakukan aktivitas asuhan keperawatan harus dapat bekerja sama dengan teman sejawat dan tenaga kesehatan lainnya sebagai mitara kerja dalam memberikan asuhan kepada pasien; (3) Review, prinsip utama dalam melaksanakan peran tersebut adalah moral dan etik keperawatan; dan (4) Education, dalam upaya meningkatkan kualitas layanan keperawatan dimasa depan, perawat harus mempunyai komitmen yang tinggi terhadap profesi dengan secara kontinyu menambah ilmu melalui pendidikan formal/informal sampai pada keahlian tertentu.

 

 

2.3 Tinjauan Umum Tentang Motivasi

2.3.1 Pengertian

Motivasi adalah karakteristik psikologis manusia yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang. Hal ini  termasuk  faktor-faktor yang menyebabkan, menyalurkan, dan mempertahankan tingkah laku manusia dalam arah tekad tertentu (Stoner dan Freeman, 1995:134 dikutip oleh suarli,2002:30).  Sedangkan Terry GR (1986) yang dikutip oleh Notoadmojo dalam buku pengembangan sumber daya manusia (2009:114), memberikan definisi motivasi adalah keinginan yang terdapat pada seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan tindakan-tindakan. Menurut Ishak arep 2003 motivasi adalah sesuatu yang pokok, yang mendorong seseorang untuk bekerja.

Menurut Sunaryo dalam buku psikologi untuk keperawatan (2003), motivasi adalah keinginan dan kebutuhan pada individu, untuk memotivasi individu tersebut untuk memenuhi kebutuhannya dan menggarahkan prilaku kearah segala sesuatu yang ditujunya. Menurut Nancy Stevenson (2001) motivasi adalah semua hal verbal, fisik, atau psikologis yang membuat seseorang  melakukan sesuatu sebagai respon. dan menurut Robert Kreitner Dan Angelo Kinici (2001:205) dikuti oleh wibowo dalam buku manajemen kinerja, (2010) motivasi merupakan proses psikologis yang membangkitkan dan mengarahkan perilaku pada pencapaian tujuan.

2.3.2 Tujuan motivasi

Menurut Wijono D (1997), Didalam manajemen organisasi tujuan motivasi antara lain :

1.    Untuk mengubah perilaku bawahan sesuai dengan keinginan pimpinan.

2.    Untuk meningkatkan kegairahan kerja pegawai.

3.    Untuk meningkatkan disiplin pegawai

4.    Untuk menjaga kestabilan pegawai.

5.    Untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai.

6.    Untuk meningkatkan prestasi pegawai

7.    Untuk mempertinggi moral pegawai

8.    Untuk meningkatkan rasa tanggung jawab pegawai pada tugas-tugasnya.

9.    Untuk meningkatkan produktivitas dan efisien

10. Untuk memperdalam kecintaan pegawai terhadap perusahaan.

11. Untuk memperbesar partisipasi pegawai terhadap perusahaan.

 

2.3.3 Asas, Alat, dan Jenis Motivasi (Hasibuan, 2008)

1. Asas Motivasi

Asas motivasi dapat juga dibagi menjadi sebagai berikut :

a.    Asas Mengikutsertakan, artinya mengajak karyawan untuk ikut berpartisispasi dan memberi kesempatan kepada karyawan untuk mengajukan pendapat, rekumendasi dan proses pengambilan keputusan.

b.    Asas Pengetahuan, artinya memberi penghargaan, pujian, dan pengakuan yang tepat serta wajar kepada karyawan atas prestasi yang telah dicapainya.

c.    Asas Wewenang yang didelegasikan, artinya memberi kewenangan dan kepercayaan diri kepada karyawan bahwa  dengan kemampuan dan kreatifitasnya dapat melakukan tugas yang baik

d.    Asas adil dan layak, artinya alat dan jenis motivasi harus berdasarkan keadilan dan kelayakan terhadap semua karyawan.

e.    Asas perhatian timbal balik, bawahan yang berhasil mencapai tujuan dengan baik, maka pimpinan harus bersedia memberikan imbalan atau dengan kata lain dapat saling menguntungkan kedua belah pihak.

2. Alat Motivasi

Untuk memotivasi pegawai seorang manajer harus dapat mengerakkan bawahannya dengan menggunakan teknik atau alat yang dapat berupa sebagai berikut:

a.  Insentif material, yaitu insentif yang berupa uang, barang, dan sebagainya.

b.  Insentif Non Materval, yaitu berupa promosi jabatan, piagam penghargaan, penghormatan dan sebagainya.

3. Jenis Motivasi

Menurut Wijono jenis motivasi juga dapat bagi sebagai berikut :

a.  Motivasi Positif, artinya memotivasi karyawan dengan memberikan     pengahargaan, hadiah, kehormatan dan sebagainya.

b.  Motivasi Negatif, artinya memotivasi karyawan dengan memberikan hukuman kepada mereka yang pekerjaannya kurang baik.

Menurut Gardner Linzey , Calvin S. Hall dan R.f. Thompson dalam buku Psikologi karangan Abu ahmad yang dikutip oleh (sunaryo,141) mengklasifikasikan motivasi menjadi:

1.    Driver (need), yaitu kekuatan yang ada dalam individu  yang mendorong untuk bertindak, dibedakan menjadi:

a)    Driver Primer  atau driver dasar, yaitu driver yang tidak dipelajari dan merupakan proses organic internal, misal: haus, lapar, sesak, dan seks.

b)    Drive yang dipelajari, misalnya berprestasi, belajar dan berkompetensi.

2.    Insentives, yaitu benda atau situasi di sekitar lingkungan kita, yang     merangsang tingkah laku.

 

2.3.4 Metode, Model, Dan Proses Motivasi

1. Metode Motivasi

Ada dua metode motivasi (Sunaryo, 2002) yaitu:

a.    Motivasi Langsung.

Motivasi langsung adalah motivasi yang diberikan secara langsung kepada setisap individu karyawan untuk memenuhi kebutuhan serta kepuasannya. Misalnya pemberian pujian, penghargaan, tunjangan hari raya, bonus, dan tanda jasa.

b.    Motivasi Tidak Langsung.

Motivasi tidak langsung adalah motivasi yang diberikan hanya berupa fasilitas-fasilitas yang mendukung serta menunjang kelancaran tugas sehingga para karyawan betah dan bersemangat dalam melaksanakan tugas/pekerjaannya. Misalnya, kursi yang empuk, mesin-mesin yang baik, ruangan kerja yang terang dan nyaman, penempatan kerja yang tepat. Motivasi langsung besar pengaruhnya untuk merangsang semangat kerja karyawan sehingga akhirnya prestasi kerja karyawanpun meningkat.

2. Model-model Motivasi

Ada tiga model motivasi (Hasibuan, 2008) yaitu:

a.    Model tradisional, mengemukakan bahwa untuk memotivasi bawahan agar gairah bekerjanya meningkat dilakukan dengan sistem insentif yaitu memberikan insentif materil kepada karyawan yang berprestasi baik. Semakin berprestasi maka semakin banyak balas jasa yang diterimanya. Jadi motivasi bawahan untuk mendapatkan insentif (uang atau barang) saja.

b.    Model hubungan manusia, mengemukakan bahwa untuk memotivasi bawahan supaya gairah bekerjanya meningkat, dilakukan dengan mengakui kebutuhan sosial mereka dan membuat mereka merasa berguna serta penting. Sebagai akibatnya karyawan mendapatkan beberapa kebebasan membuat keputusan dan kreativitas dalam melakukan pekerjaannya.Dengan memperhatikan kebutuhan materil dan nonmateril karyawan, maka motivasi bekerjanya akan meningkat pula. Jadi motivasi karyawan adalah untuk mendapatkan kebutuhan materil dan nonmateril.

c.    Model sumberdaya manusia, mengemukakan bahwa karyawan dimotivasi oleh banyak faktor, bukan hanya uang/barang atau keinginan akan kepuasan saja, tetapi juga kebutuhan akan pencapaian dan pekerjaan yang berarti. Menurut model ini karyawan cenderung memperoleh kepuasan dari prestasi kerjanya baik.

 

 

 

3. Proses Motivasi

Ada enam proses motivasi (Hasibuan, 2008) yaitu:

1.  Tujuan, dalam proses memotivasi perlu ditetapkan terlebih dahulu tujuan organisasi, baru kemudian para bawahan dimotivasi kearah tujuan tersebut.

2.  Mengetahui kepentingan, dalam proses motivasi penting mengetahui kebutuhan/keinginan karyawan dan tidak hanya melihatnya dari sudut kepentingan pimpinan dan perusahaan saja.

3.  Komunikasi efektif, dalam proses motivasi harus dilakukan komunikasi yang baik dan efektif dengan bawahan. Bawahan harus mengetahui apa yang akan diperolehnya dan syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi supaya insentif itu diperolehnya.

4.  Integrasi tujuan, dalam proses motivasi perlu untuk menyatukan tujuan dan kepentingan karyawan di suatu organisasi, oleh karena itu perlua ada penyesuaian motivasi

5.  Fasilitas, manajer dalam memotivasi harus memberikan fasilitas kepada perusahaan dan individu karyawan yang akan mendukung kelancaran pelaksanaan pekerjaan, misalnya memberikan bantuan kendaraan kepada karyawan.

6.  Team work, manajer harus menciptakan team work yang terkordinasi baik yang bisa mencapai tujuan perusahaan. Team work (kerja sama) ini penting karena dalam suatu perusahaan biasanya terdapat banyak bagian.

2.3.5 Teori Motivasi

1. Teori Hikarki Kebutuhan  dari Abraham H.  Maslow

Seseorang mau bekerja karena adanya dorongan bermacam-macam kebutuhan. Kebutuhan ini berjenjang atau bertingkat-tingkat apabila satu kebutuhan yang mendasar telah terpenuhi maka akan meningkat pada kebutuhan yang lebih tinggi dan seterusnya. Kebutuhan ini bagi setiap orang tidak sama dan perbedaannya sangat jauh, Dengan keadaan tersebut maka akan menimbulkan persepsi terhadap suatu kebutuhan dan akan mempengaruhi perubahan prilaku kerja dalam bekerja.

Maslow dalam teori kebutuhan dasar manusia dibagi menjadi lima jenjang, adapun kelima jenjang tersebut adalah sebagai berikut:

1)    Kebutuhan Dasar (Physiological Needs)

Kebutuhan seorang pekerja akan hal-hal yang bersifat primer misalnya: makan cukup, bisa berpakaian pantas, pergi  kekantor dengan biaya transport pas pasan dan sebagainya.

2)    Kebutuhan rasa aman dalam bekerja (Scurity Needs)

Bila kebutuhan tidak terpenuhi akan menurunkan produktivitas kerja.

3)    Kebutuhan Sosial (Social Needs)

Pegawai akan lebih berbahagia apabila menjadi bagian dari kelompoknya dan diakui keberadaannya serta status sosialnya.

4)    Kebutuhan Penghargaan (Esteem Needs) / Harga Diri

Kebtuhan akan melakukan pekerjaan dengan baik status dan pengakuan. Kebutuhan juga disebut sebagai kebutuhan akan harga diri.

5)    Kebutuhan Aktualisai (Actalisation Needs)

Kebutuahan untuk bekerja dan berproduksi dengan mengembangkan potensi pribadi untuk lebih berhasil.

2. Teori Motivasi Menurut Claude S. George

Seseorang membutuhkan suasana lingkungan kerja yang baik untuk mencukupi kebutuhannya meliputi :

1)    Upah yang pantas

2)    Kesempatan untuk maju

3)    Pengakuan dirinya

4)    Keamanan dalam bekerja

5)    Tempat kerja yang memenuhi syarat

6)    Penerimaan oleh kelompoknya

7)    Perlakuan yang wajar

8)    Pengakuan atas prestasi

 

 

3. Teori Hubungan Antar Manusia

Teori ini berkaitan tentang pentingnya hubungan antar pemimpin dan bawahan status sesamanya. Pemimpin diharapkan menjaga kebutuhan yang baik dengan bawahannya secara pribadi, tenggang rasa dan menumbuhkan rasa dihargai dalam memotivasi.

4. Toeri Motivasi Dua Faktor (Two Factor Motivasion Teory)

Herzberg mengemukakan bahwa dalam melaksanakan pekerjaannya pegawai dipengaruhi oleh dua faktor yaitu :

a)    Faktor interna (Faktor dari dalam) meliputi : Dapat menikmati pekerjaan, mempunyai keingginan untuk maju, kepuasan dalam bekerja, mendapat penghargaan dan pekerjaan yang menantang.

b)    Faktor  ekternal (factor dari luar) meliputi : Kebijakan, kondisi kerja, hubungan antara pribadi, status, jaminann kerja, kehidupan kerja sehari- hari.

5. Teori Motivasi dari Mc Cellend

David C. Mc. Cellend dari Universitas Harvard mengidentivikasi tiga jenis kebutuhan dasar yaitu kebutuhan untuk berkuasa, kebutuhan berafiliasi, dan kebutuhan untuk berprestasi. Kebutuhan dapat diuraikan sebagai berikut :

1)    Kebutuhan akan berkuasa

Motif berkuasa adalah motif yang dapat endorong seseorang untuk menguasai dan mengendalikan serta mendominasi orang lain. Orang ini mempunyai ciri-ciri : Senang mempengaruhi dengan mengendalikan orang lain, berusaha mencapai kedudukan puncak dan kepemimpinan, senang kegiatan yang keras dan dinamis yang memerlukan banyak tenaga dan pikiran, penuh gaya dan semangat, senang membantu orang  suka bicara dan mengajar.

2)    Kebutuhan Untuk Berprestasi

Motif  berprestasi adalah motif yang mendorong seseorang untuk mengejar dan merncapai tujuan atau hasil yang lebih baik. Orang ini mempunyai ciri-ciri : Suka berprestasi dan keberhasilan, senang tantangan dan berkompetensi dengan orang lain dan dirinya sendiri, inofatif dan kreatif, senang meningkatkan karir yang lebih baik untuk yang akan datang, realitas terhadap resiko keberhasilan dan kegagalan, senang tanggung jawab.

3)    Kebutuhan Berafiliasi

Motif berafiliasi adalah motif yang mendorong seseorang untuk mengadakan hubungan manusiawi yang erat dengan orang lain dan saling menyenangkan. Orang ini mempunyai ciri-ciri : Senang memelihara hubungan yang erat dan akrab serta kasih sayang, emosional, mudah sedih dan gembira, senang kegiatan yang bersifat karya bersama, senang kebersamaan dan persahabatan.

6. Expectancy Theory (Teori harapan), Menurut  Arep Ishak

Secara sederhana dalam teori ini  merupa interaksi antara harapan setelah dikuranggi prestasi, dengan kontribusi penilaian  yang dikaitkan dengan merupakan prestasi karena kebutuhan  generalisai kenyataan kebutuhan orang tidak sama, maka dikenal sebagai Expectancy Model.

Menurut Hinshaw yang dikutip oleh Sunaryo dalam buku psikologi untuk keperawatan menyatakan bahwa factor-faktor pendukung motivasi seorang pegawai antara lain:

1)    Pengurangan staf

2)    Status professional

3)    Kesenangan pada posisi yang dimiliki

4)    Kemampuan memberikan aspek yang berkualitas

5)    Pengenalan terhadap keunikan perawat

6)    Kesempatan pertumbuhan professional

7)    Pengendalian praktek keperawatan

 

2.4 Tinjauan Umum Tentang Motivasi Kerja

2.4.1 Pengertian

Bekerja adalah suatu bentuk aktivitas yang bertujuan untuk mendapatkan kepuasan, bekerja melibatkan baik fisik maupun mental (M.As’ad,2001:47, dikutip S.suarli dalam buku manajemen keperawatan  dengan pendekatan praktis 2002:36).

Motivasi kerja adalah suatu kondisi yang berpengaruh untuk membangkitkan, mengarahkan dan memlihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja (Mangkunegara, 2009; 94).

 

2.4.2 Indikator Motivasi Kerja

Menurut Arep Ishak & Tanjung H (2003), manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga produktifitas kerja meningkat. Orang yang termotivasi dalam bekerja adalah sebagai berikut;

1)   Bekerja sesuai dengan standar. Artinya pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat, dan diselesaikan sesuai standar yang benar dan dalam skala waktu yang sudah ditentukan.

2)   Senang bekerja, yaitu senang melakukan pekerjaannya. Sesuatu yang dikerjakan karena ada motivasi yang mendorongnya akan membuat orang senang mengerjakannya.

3)   Merasa berharga, artinya orang yang merasa berharga / dihargai karena hal ini terjadi bahwa pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang termotivasi.

4)   Bekerja keras. Hal ini dimaklumi karena dorongan yang begitu tinggi untuk menghasilkan sesuai target yang mereka tetapkan.

5)   Sedikit pengawasan.

6)   Semangat juang yang tinggi.

 

2.4.3 Prinsisp-prinsip dalam Motivasi Kerja

Beberapa prinsip dalam motivasi kerja pegawai menurut (Mangkunegara, 2009:100) antara lain:

1)    Prinsip Partisipasi.

Dalam upaya memotivasi kerja, pegawai perlu diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan tujuan yang akan dicapai oleh pemimpin.

2)    Prinsip Komunikasi.

Usaha mencapai tugas, dengan informasi yang jelas pegawai akan mudah dimotivasi kerjanya.

3)    Prinsip Mengakui Adil Pada Bawahan.

Pemimpin mengakui bahwa bawahan (pegawai) mempunyai andil dalam usaha mencapai tujuan. Dengan pengakuan tersebut pegawai akan dimotivasi kerjanya.

4)    Prinsip Pendelegasia Wewenang.

Pemimpin akan memberikan otoritas wewenang pada pegawai bahwa untuk sewaktu-waktu dapat mengambil keputusan terhadap pekerjaan yang dilakukan, akan membuat pegawai yang bersangkutan menjadi termotivasi untuk tujuan yang dihadapkan oleh pemimpin.

5)    Prinsip Perhatian. Pemimpin memberikan perhatian apa yang diinginkan pegawai bawahanya, dan bawahan akan termotivasi kerja sesuai dengan harapan pemimpin.

2.4.4 Tehnik Untuk Meningkatkan Motivasi Kerja

Menurut (Sunaryo,2004:145) ada beberapa cara yang digunakan untuk memotivasi kerja seorang pegawai antara lain:

1)    Memotivasi dengan kekerasan (motivating by force), cara memotivasi menggunakan ancaman hukuman atau kekerasan agar yang dimotivasi dapat melakukan apa yang harus dilakukan.

2)    Memotivasi dengan bujukan (motivating by enticemen), yaitu cara memotivasi dengan bujukan atau memberi hadiah agar melakukan sesuatu sesuai dengan harapan yang memberikan motivasi.

3)    Memotivasi dengan identifikasi (motivasi by identification), yaitu cara memotivasi dengan menanamkan kesadaran sehinga individu berbuat sesuatu karena adanya keinginan yang timbul dari dalam dirinya sendiri dalam mencapai tujuan.

 

Menurut (Dami Sudarwan,2004: 41) ada beberapa cara yang digunakan untuk memotivasi kerja seorang pegawai antara lain:

1)    Rasa hormat (respect). Berikan rasa hormat secara adil, demikian juga penghargaan. Adil tidak berarti sama rata, dengan demikian, dilihat dari aspek prestasi kerja, atasan tidak mungkin memberikan penghargaan atau rasa hormat yang sama kepada semua orang.

2)    Informasi, berikan informasi kepada bawahan mengenai aktivitas organisasi, terutama tentang apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana cara melakukannya.

3)    Perilaku (behavior), usahakan mengubah perilaku sesuai dengan harapan bawahan dan dengan demikian dia mampu membuat bawahan berperilaku atau berbuat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh organisasi.

4)    Hukuman (punishement), berikan hukuman kepada staf yang bersalah diruang yang terpisah. Jangan menghukum bawahan di depan orang lain.

5)    Perintah (command). Perintah yang diberikan kepada bawahan sebaiknya bersifat tidak langsung.

6)    Perasaan (sense). Interaksi antara atasan dengan bawahan adalah interaksi antar manusia.

 

Sedangkan menurut mangkunegara (2009: 101) beberapa tekhnik memotivasi pegawai antara lain sebagai berikut:

1)    Tekhnik pemenuhan kebutuhan pegawai

Pemenuhan kebutuhan pegawai merupakan fundamen yang mendasari perilaku kerja. Kita tidak dapat memotivasi kerja pegawai tanpa memperhatikan apa yang dibutuhkannya.

 

Abraham Maslow mengemukakan hierarki kebutuhan pegawai sebagai berikut:

a.    Kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan makan, minum, perlindungan fisik, bernafas dan seksual

b.    Kebutuhan rasa aman, yaitu kebutuhan perlindungan dari ancaman, bahaya dan lingkungan kerja.

c.    Kebutuhan sosial atau rasa memiliki, yaitu kebutuhan untuk diterima dalam kelompok unit kerja, berafiliasi, berinteraksi, serta rasa dicintai dan mencintai.

d.    Kebutuhan harga diri yaitu kebutuhan untuk dihormati dan dihargai oleh orang lain.

e.    Kebutuhan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk mengembangkan diri dan potensi, mengemukakan ide-ide, memberikan penilaian, kritik dan berprestasi.

Selanjutnya Abrahan Maslow berpendapat bahwa orang dewasa (pegawai bawahan) secara normal harus terpenuhi minimal 85% kebutuhan fisiologis, 70% kebutuhan rasa aman, 50% kebutuhan sosial, 40% kebutuhan penghargaan dan 15% kebutuhan aktualisasi diri. Jika tidak terpenuhi maka pegawai tersebut akan mengalami konflik diri, keluarga, dan bisa juga menjadi penyebab terjadinya konflik kerja. Dengan demikian jika kebutuhan pegawai tidak terpenuhi pemimpin akan mengalami kesulitan dalam memotivasi kerja pegawai.

2)    Tekhnik komunikasi persuasif

Tekhnik komunikasi persuasif merupakan salah satu tekhnik memotifasi kerja pegawai yang dilakukan dengan cara mempengaruhi pegawai secara ekstra logis dengan memberikan perhatian, minat, hasrat, keputusan, aksi/tindakan dan kepuasan.

 

 

MENINGITIS

1. Definisi

Meningitis adalah radang meningen (membrane yang mengelilingi otak dan medulla spinalis) dan disebabkan oleh virus atau organ – organ jamur. Meningitis selanjutnya diklasifikasikan sebagai asepsis, sepsis, dan tuberculosis. Meningitis aseptic mengacu pada salah satu meningitis virus atau menyebabkan iritasi meningen yang disebabkan oleh abses otak, ensefalitis, limfoma, leukemia, atau darah di ruang subarachnoid. Meningitis sepsis menunjukkan meningitis yang disebabkan oleh organism bakteri seperti menigokokus, stafilokokus atau basilus influenza. Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh basilus tuberkel.

Dalam pembahasan ini akan dibahas mengenai meningitis bakteri atau meningitis sepsis. Bakteri paling sering dijumpai pada meningitis bakteri akut yaitu Neiserria meningitides (meningitis meningokokus), Streptococcus pneumonia (pada dewasa), dan Haemophilus inflienzae (pada anak – anak dan dewasa muda).

Bentuk penularannya melalui kontak langsung yang mencakup droplet dan secret dari hidung dan tenggorok yang membawa kuman (paling sering) atau infeksi dari orang lain. Pada hasilnya, banyak yang tidak dikembangkan menjadi infeksi tetapi menjadi carrier. Insiden tertinggi pada meningitis disebabkan oleh bakteri gram negative, yang terjadi pada lansia, sama seperti pada seseorang yang menjalani bedah saraf atau seseorang yang mengalami gangguan respons imun.

 

2. Etiologi

1.      Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokokus), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.

2.      Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.

3.      Faktor predisposisi : jenis kelamin laki-laki lebih sering dibandingkan dengan wanita.

4.      Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan.

5.      Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.

6.      Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem persarafan.

 

3. Patofisiologi

Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari orofaring dan diikuti dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas. Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri. Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan peningkatan TIK. Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus.

 

 

Agen penyebab

Invasi ke SSP melalui aliran darah

Bermigrasi ke lapisan subarahnoid

Respon inflamasi di piamatter, arahnoid,CSF dan ventrikuler

Exudat menyebar di seluruh saraf cranial dan saraf spinal

Kerusakan neurologist

 

4. Manifestasi klinis

Sakit kepala dan demam merupakan gejala awal yang sering. Sakit kepala dihubungkan dengan meningitis yang selalu berat dan sebagai akibat iritasi meningen. Demam umumnya ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit.

Gejala – gejala lainnya yakni berupa :

Perubahan pada tingkat kesadaran. Perubahan yang terjadi bergantung pada beratnya penyakit, demikian pula respons individu terhadap proses fisiologik. Manifestasi perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargik, tidak responsive, dan koma.

Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali yang umumnya terlihat pada semua tipe meningitis, antara lain :

Rigiditas nukal (kaku leher) adalah tanda awal. Adanya upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot – otot leher. Fleksi paksaan menyebabkan nyeri berat.

Tanda kernig positif : ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi ke arah abdomen, kaki tidak dapat diekstensikan sempurna.

Tanda Brudzinski : bila leher pasien difleksikan, maka hasilnya fleksi lutut dan pinggul; bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi, maka gerakan yang sama terlihat pada sisi ekstremitas yang berlawanan.

Dengan alasan yang tidak diketahui, pasien ini mengeluh mengalami fototobia atau sensitive yang berlebihan terhadap cahaya.

Kejang dan peningkan TIK. Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang peka. Tanda – tanda peningkatan TIK sekunder akibat eksudat purulen dan edema serebral terdiri dari perubahan karakteristik tanda – tanda vital (melebarnya tekanan pulsa dan bradikardia), pernapasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran.

Adanya ruam merupakan salah satu cirri yang menyolok pada meningitis meningokokal (Neisseria meningitis). Sekitar setengah dari semua pasien dengan tipe meningitis mengembangkan lesi – lesi pada kulit diantaranya ruam petekie dengan lesi purpura sampai ekimosis pada derajat yang luas.

Infeksi fulminating terjadi pada sekitar 10 % pasien dengan meningitis meningokokus, dengan tanda – tanda septicemia: demam tinggi yang tiba – tiba muncul, lesi purpura yang menyebar (sekitar wajah dan ekstremitas), syok dan tanda – tanda koagulapati intravascular diseminata (KID). Kematian mungkin terjadi dalam beberapa jam setelah serangan infeksi.

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang berhasil bergantung pada pemberian antibiotic yang melewati darah-barier otak ke dalam ruang subarachnoid dalam konsentrasi yang cukup untuk menghentikan perkembangbiakan bakteri. Cairan seresbropinal (CSS) dan darah perlu dikultur, dan terapi antimikroba dimulai segera. Dapat digunakan penisilin, ampisilin atau kloramfenikol, atau salah satu jenis dari sefalosporins. Antibiotic lain digunakan jika diketahui strein bakteri resisten. Pasien dipertahankan pada dosis besar antibiotic yang tepat per intravena.

Dehidrasi atau syok diobati dengan pemberian tambahan volume cairan. Kejang dapat terjadi pada awal penyakit, dikontrol dengan menggunakan diazeoam atau fenitoin. Diuretik osmotic (seperti manitol) dapat digunakan untuk mengobati edema serebral.

6. Komplikasi

  • Hidrosefalus obstruktif
  • MeningococcL Septicemia ( mengingocemia )
  • Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,perdarahan adrenal bilateral)
  • SIADH ( Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone )
  • Efusi subdural
  • Kejang
  • Edema dan herniasi serebral
  • Cerebral palsy
  • Gangguan mental
  • Gangguan belajar
  • Attentiondeficitdisorder

 

G.  Pengkajian

a)     Biodata klien

b)    Riwayat kesehatan yang lalu

(1) Apakah pernah menderita penyait ISPA dan TBC ?

(2) Apakah pernah jatuh atau trauma kepala ?

(3) Pernahkah operasi daerah kepala ?

c)    Riwayat kesehatan sekarang

(1) Aktivitas

Gejala : Perasaan tidak enak (malaise). Tanda : ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter.

(2) Sirkulasi

Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis dan PJK. Tanda : tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat, taikardi, disritmia.

(3) Eliminasi

Tanda : Inkontinensi dan atau retensi.

(4) Makanan/cairan

Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan. Tanda : anoreksia, muntah, turgor kulit jelek dan membran mukosa kering.

(5) Higiene

Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri.

(6) Neurosensori

Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang terkena, kehilangan sensasi, hiperalgesia, kejang, diplopia, fotofobia, ketulian dan halusinasi penciuman. Tanda : letargi sampai kebingungan berat hingga koma, delusi dan halusinasi, kehilangan memori, afasia,anisokor, nistagmus,ptosis, kejang umum/lokal, hemiparese, tanda brudzinki positif dan atau kernig positif, rigiditas nukal, babinski positif,reflek abdominal menurun dan reflek kremastetik hilang pada laki-laki.

(7)Nyeri/keamanan
Gejala : sakit kepala(berdenyut hebat, frontal). Tanda : gelisah, menangis.

(8) Pernafasan

Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru.

Tanda : peningkatan kerja pernafasan.

H.  Diagnosa

Diagnosa keperawatan

1.      Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen dari pathogen

2.      Risiko tinggi terhadap perubahan serebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.

3.      Risisko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/fokal, kelemahan umum, vertigo.

4.      Nyeri (akut) sehubungan dengan proses inflamasi, toksin dalam sirkulasi.

5.      Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan

6.      Anxietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.


I.  Intervensi keperawatan

a) Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen dari patogen.

Mandiri

  • Beri tindakan isolasi sebagai pencegahan
  • Pertahan kan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.
  • Pantau suhu secara teratur
  • Kaji keluhan nyeri dada, nadi yang tidak teratur demam yang terus menerus
  • Auskultasi suara nafas ubah posisi pasien secara teratur, dianjurkan nfas dalam
  • Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau )

Kolaborasi

  • Berikan terapi antibiotik iv: penisilin G, ampisilin, klorampenikol, gentamisin.

 

b)   Resiko tinggi terhadap perubahan cerebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.

Mandiri

  • Tirah baring dengan posisi kepala datar.
  • Pantau status neurologis.
  • Kaji regiditas nukal, peka rangsang dan kejang
  • Pantau tanda vital dan frekuensi jantung, penafasan, suhu, masukan dan haluaran.
  • Bantu berkemih, membatasi batuk, muntah mengejan.

Kolaborasi.

  • Tinggikan kepala tempat tidur 15-45 derajat.
  • Berikan cairan iv (larutan hipertonik, elektrolit ).
  • Pantau BGA.
  • Berikan obat : steoid, clorpomasin, asetaminofen

 

c)   Resiko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/vokal, kelemahan umum vertigo.

Mandiri

  • Pantau adanya kejang
  • Pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan nafas buatan
  • Tirah baring selama fase akut kolaborasi berikan obat : venitoin, diaepam, venobarbital.

d) Nyeri (akut) sehubungan dengan proses infeksi, toksin dalam sirkulasi.

Mandiri.

  • Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas mata, berikan posisi yang nyaman kepala agak tinggi sedikit, latihan rentang gerak aktif atau pasif dan masage otot leher.
  • Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman(kepala agak tinggi)
  • Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif.
  • Gunakan pelembab hangat pada nyeri leher atau pinggul

Kolaborasi
Berikan anal getik, asetaminofen, codein

e)   Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler.

  • Kaji derajat imobilisasi pasien.
  • Bantu latihan rentang gerak.
  • Berikan perawatan kulit, masase dengan pelembab.
  • Periksa daerah yang mengalami nyeri tekan, berikan matras udsra atau air perhatikan kesejajaran tubuh secara fumgsional.
  • Berikan program latihan dan penggunaan alat mobilisasi.

 

f)   Perubahan persepsi sensori sehubungan dengan defisit neurologis

  • Pantau perubahan orientasi, kemamapuan berbicara,alam perasaaan, sensorik dan

proses pikir.

  • Kaji kesadara sensorik : sentuhan, panas, dingin.
  • Observasi respons perilaku.
  • Hilangkan suara bising yang berlebihan.
  • Validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.
  • Beri kesempatan untuk berkomunikasi dan beraktivitas.
  • Kolaborasi ahli fisioterapi, terapi okupasi,wicara dan kognitif.

 

g)   Ansietas sehubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.

  • Kaji status mental dan tingkat ansietasnya.
  • Berikan penjelasan tentang penyakitnya dan sebelum tindakan prosedur.
  • Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.
  • Libatkan keluarga/pasien dalam perawatan dan beri dukungan serta petunjuk sumber penyokong.

 

J. EVALUASI

Hasil yang diharapkan:

1.       Mencapai masa penyembuhan tepat waktu, tanpa bukti penyebaran infeksi endogen atau keterlibatan orang lain

2.      Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik dan fungsi motorik/sensorik, mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil.

3.      Tidak mengalami kejang/penyerta atau cedera lain.

4.      Melaporkan nyeri hilang/terkontrol dan menunjukkan postur rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat.

5.      Mencapai kembali atau mempertahankan posisi fungsional optimal dan kekuatan.

6.      Meningkatkan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi.

7.      Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang dan mengungkapkan keakuratan pengetahuan tentang situasi.

 

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 1997, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Penerbit Buku

Kedokteran EGC : Jakarta.

Doengoes,  Marilynn, 1993, Rencana Asuhan  Keperawatan, Penerbit Buku  Kedokteran EGC :

Jakarta.

Mansjoer, dkk., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, FKUI : Jakarta.

Price, Sylvia, 2003, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

www.google.com. http://id.wikipedia.org/wiki/Meningitis

WWW.PEDIATRIK.COM